Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Sabtu, 15 November 2008

Kritis "Ayat-ayat Cinta"

“Cukuplah orang dikatakan bodoh, bila menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak ada”.

Peluncuran film layar lebar ‘Ayat-ayat Cinta’ di bioskop tanah air disambut dengan antusias masyarakat tak terkecuali oleh aktivis-aktivis Islam. Sehingga jika anda pergi ke bioskop-bioskop pada saat penayangan film tersebut, maka anda tidak akan sulit menemukan wanita-wanita jilbaber dan laki-laki muslim yang mungkin masih memakai pecinya berada di antara sekian banyak penonton. Banyak juga yang terhanyut dengan kesedihan sampai-sampai ikut menyumbangkan air matanya.

Hmm, kalo itu terjadi pada orang awam mungkin biasa-biasa saja, tapi kalo aktivis maka ini luar biasa –maksudnya, keluar dari kebiasaan-. Walau aktivis juga manusia, tapi ia bukan manusia awam, mestinya mereka adalah manusia-manusia kritis yang tetap mempertahankan idealismenya kapan pun dan dimana pun, tidak mudah terpengaruh oleh gelombang yang terjadi. Saya tidak bermaksud mencela mereka, namun kewajiban saling menasehatilah yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini.

Inikan Film Islami?
Hati-hati menyandarkan label Islam pada sesuatu, sebab bisa saja itu akan menjadi bumerang yang justru akan menodai kemuliaan Islam. Sangat berbahaya, sebagaimana bahayanya menempeli botol minuman keras dengan label 100% halal!

Kalau kemarin umat Islam marah-marah dengan kasus penistaan Islam oleh Ahmad Musadeq, seharusnya kita juga marah-marah dengan label “ISLAM” yang disematkan pada film ini.
Kita tidak pungkiri bahwa memang ada nilai-nilai positif yang terkandung dalam film tersebut. ada kemanusiaan, ada kesetiaan, ada pembelaan terhadap Islam, simpati dan empati terhadap masalah orang lain, namun itu semua tidak bisa menghapus nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Kita bisa saksikan bagaimana bercampur baur (ikhtilat), berdua-duaan (khalwat) saling memandang dengan lawan jenis adalah hal yang biasa, musik background yang menghanyutkan, belum lagi menampilkan wanita dengan aurat yang terbuka, puncaknya adalah dengan mempertontonkan adegan ciuman. Produser film itu bisa saja berkilah, “Itu hanya simulasi komputer.” Tapi pantaskah adegan suami istri itu ditampilkan di film yang katanya ‘Islami’ dan kita hanya bisa terdiam ikut ‘menikmatinya’.

Generasi yang suka dibohongi
Terlepas dari perbedaan pendapat para Ulama tentang haram tidaknya kisah fiktif. Entah sudah tabiat manusia mungkin yang suka dibohongi, sejak kecil kita suka diceritakan dengan dongeng-dongeng yang tak pernah terjadi sama sekali. Meski ada pelajaran yang dapat diambil tapi bukankah banyak juga kisah nyata yang dapat dipelajari, yang tidak kalah menarik dari kisah bohongan tersebut.

Lebih lucu lagi jika kisah bohongan itu menjadi bahan pertengkaran, dan diskusi yang ditanggapi dengan serius, bahkan beberapa organisasi Islam kelihatan sangat serius untuk mengaktualisasikannya. Sadar atau tidak kita digiring menjadi manusia-manusia penghayal dan pemimpi.

Ya, sadar atau tidak, umat Islam digiring untuk mengambil sumber lain dalam mengaktualisasikan agamanya. Umat Islam digiring untuk melupakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama syariat Islam. Sekali lagi, mungkin ada pelajarandan hikmahnya, tapi ingat saudaraku, salah sau senjata paling ampuh dari Syaitan adalah menghias sesuatu yang batil dengan keindahan. Dan ingat juga sebuah kaidah yang diajarkan oleh para ulama rabbani, mencegah mudharat lebih diutamakan dari pada mengambil manfaat.

Aktivis-aktivis Cinta
Kita semua sudah tahu bahwa problematika yang menimpa ummat Islam sangat banyak, sehingga sebagai aktivis hendaknya kita memenuhi agenda kita dengan sesuatu yang lebih bermanfaat, karena kewajiban kita jauh lebih banyak daripada umur kita. Persoalan cinta adalah persoalan pelik tak berujung pangkal, namun sangat naif bagi seorang aktivis jika hanya berkubang pada masalah tersebut sebab kita adalah aktivis-aktivis Islam bukan aktivis-aktivis cinta. Menjadi aktivis memang tidak mudah, jika ia ‘terjatuh’, maka puluhan orang awam yang melihatnya mungkin juga akan ‘berusaha jatuh’ persis sepertinya -mudah-mudahan dipahami-.

Epilog : "Apa yang bisa diberikan oleh generasi penghayal untuk mengangkat kemuliaan Dien ini."

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i

Cari Artikel

www.wahdahmakassar.org