Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Jumat, 12 Juni 2009

Tiap Suku Mempunyai Tempat Minum Masing-masing

Tulisan ini juga dimuat di wimakassar.org rubrik muhasabah.

“Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing.” (QS. Al A’raf: 160).

Ketidaksempurnaan adalah hal yang biasa dan pasti ada pada diri seorang makhluk yang bernama manusia biasa. Itu adalah ketentuan-Nya yang tentu saja dibalik itu terkandung hikmah yang sangat banyak meski oleh sebagian kita kadang menganggapnya sebagai kekurangan bahkan kehinaan pada kondisi tertentu. Tiap manusia punya celah, punya kekurangan tak berbilang, namun tiap manusia pasti mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh manusia lainnya.

Dalam konteks kemasyarakatan, keanekaragaman adalah lumrah bahkan memang sudah seharusnya begitu agar hidup tetap seimbang. Beranekaragamnya keahlian, minat, bakat, profesi, keinginan, kemampuan dan sebagainya adalah tanda kebesaran Allah. Kita tidak bisa bayangkan jika semua orang dalam satu keinginan, misalnya semua ingin pekerjaan yang sama karena keahlian mereka sama, yakin kehidupan akan kacau, dan pincang dan mungkin lumpuh sama sekali.

Nyatanya tidak semua bisa kita peroleh atau mengerjakannya sendiri meski perbendaharaan langit dan bumi kita milik tapi harus ada pihak ketiga yang kita dan mereka saling membutuhkan. Pasti, karena kita memang tidak sempurna.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengibaratkan kaum mu'minin ibarat satu tubuh, dimana dalam berbagai keadaan semua organ harusnya turut andil, punya kontribusi tanpa kecuali. Dalam satu tubuh yang lengkap mesti ada yang menjadi kaki, tangan, kepala, hidung telinga, mata dan seterusnya. Semua menikmati apapun posisi mereka dan qana'ah dengan tugas masing-masing.

Seharusnya begitulah kaum muslimin, perbedaan tugas, strata, keahlian tidaklah dipandang sebagai bahan berpecah, apalagi untuk hasad atau memandang remeh yang lain.Selama berpijak di atas pondasi tauhid, tak layak ‘tubuh’ itu diceraiberaikan.

Arogan, mau menang sendiri, merasa paling benar dan jago adalah godam peretak sendi-sendi penghubung ‘tubuh’ itu. Tapi mau tak mau harus diakui semua harus merasakan perih, sakit ketika salah satu organ teramputasi. Mereka harus buta jika kehilangan mata, mereka akan pesot jika kaki tidak ada. Karena tangan bukan untuk berjalan, dan telinga hanya untuk mendengar bukan untuk melihat.

Dalam lingkup keluarga, lembaga, antar lembaga, komunitas hingga kaum muslimin seluruhnya panganalogian di atas tetap berlaku. Misalnya dalam suatu lembaga atau organisasi meski orang-orang yang berada di dalamnya mempunyai pandangan yang sama tetapi mereka harus siap melakoni peran yang berbeda sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya masing-masing. Sekecil apapun peran itu dan serendah apapun tingkatannya tapi mereka semua tidak bisa diabaikan, mereka semua berjasa dan mereka semua adalah ‘pahlawan’.

Dalam lingkup yang lebih makro, antar organisasi Islam misalnya, maka kitapun mendapati sesuatu yang lebih plural, meski sekali lagi mempunyai visi yang sama tapi di tengah kehidupan dan problem yang kompleks tak semua akan memilih dan memiliki misi yang sama. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang tidak bisa mengerjakan semuanya.

Yah, kaum muslimin tanpa terkecuali tak bisa dipisahkan, kita semua saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Kadang perbedaan adalah anugerah yang harus disyukuri bukan untuk disesali, dicela atau saling mencari celah yang hanya akan menghilangkan berkah dan malah membuat lumpuh. Kebenaran sudah jelas, begitupun sumber dan sandarannya, ketika ada yang tersalah maka kewajiban untuk saling islah dengan hikmah. Dan ketika ada yang berbeda bukan berarti serta merta sesat atau menyempal, sebab mungkin saja kita minum dari mata air yang sama tapi ditempat yang berbeda, karena memang “tiap suku mempunyai tempat minum masing-masing.” Wallahu Ta’ala A’lam.

12 Jumadil Tsani’ 1430 H

Rabu, 03 Juni 2009

Agar tidak Seperti Buih…

Tulisan ini telah diterbitkan di buletin al-Balagh DPC WI Makassar edisi 18 dan juga dimuat di wimakassar.org.

Amerika Serikat kembali mengucurkan dana sebesar 91,3 milyar Dollar AS untuk pendanaan perang di Afghanistan dan juga Iraq. Dana ini dialokasikan hanya sampai 30 September. Perang di sana akan bertambah panjang dan konsekuensinya akan memakan lebih banyak korban lagi. (Eramuslim.com)

Helikopter Israel hari Senin (25/5) pagi menyebarkan selebaran ke Jalur Gaza. Isi selebaran itu memerintahkan warga Palestina di Gaza untuk menjauh dari perbatasan dan mengancam akan menembak siapa pun yang mendekati perbatasan. (Eramuslim.com)

Lembaga Human Right Watch yang berbasis di New York juga mengumumkan bahwa kekerasan atau pelecehan dalam penjara Irak merupakan aktivitas yang rutin dan lumrah terjadi. Lembaga tersebut mengatakan bahwa para tahanan dihukum dalam waktu yang lama dengan tangan diborgol di belakang, dan secara rutin dipukul dengan kabel dan batang besi, dan juga sengaja disengatkan listrik ke telinga dan kemaluan mereka oleh para penjaga tahanan. (Arrahmah.com)

Berita-berita yang menguji ghirah, cemburu, marah dalam diri kita sebagai seorang muslim hampir setiap hari kita dapatkan di berbagai media elektronik maupun cetak, belum lagi berita penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penistaan terhadap al Qur’an, munculnya aliran sesat dan sebagainya. Dan lagi-lagi kita hanya bisa menjadi penonton tanpa upaya yang berarti. Jujur kita harus mengakui kehinaan dan kelemahan yang menimpa kita yang tentu saja ini semua adalah dari Allah disebabkan karena kelalaian kita sendiri.

Sebabnya Kemunduran
Dilihat dari berbagai aspek, kaum muslimin memang terbelakang dibanding kaum kafir, baik dari segi pendidikan, ekonomi, teknologi, kekuatan militer dan sebagainya, tapi apakah itu semua yang menjadi penyebabnya? Dalam sebuah majalah menyebutkan, “Sesungguhnya negara-negara yang akan jaya dan mulia adalah negara dengan teknologi yang maju…..” Memang logis, tapi ia lupa dengan firman Allah yang menyatakan, “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang mukmin” (QS. Al-Munafiqun: 8)



Sejarahpun menceritakan kepada kita, umat Islam generasi-generasi awal ketika melakukan ekspansi dakwah dan mengalahkan kekuatan militer dua negara adidaya di dunia pada waktu itu (Romawi dan Persia), tidaklah disebut bangsa yang maju ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bahkan secara teknologi dan militer mereka terbelakang dibandingkan dengan negara-negara yang dikalahkannya, yang dihancurkan singgasananya dan pada akhirnya ditaklukkan.

Alur kisah menjadi berbalik justru ketika kaum muslimin mencapai puncak kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Kota Baghdad dan perpustakaan-perpustakaannya menjadi pusat ilmu pengetahuan (baik ilmu dunia maupun syari’ah) di muka bumi pada waktu itu. Banyak pelajar-pelajar dari seluruh penjuru dunia menimba ilmu di sini. Tapi ketika bangsa Tartaar (Mongolia) menyerang kaum muslimin di akhir masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Mereka mengalahkan kaum muslimin, menyerbu sebagian besar wilayah daulah Abbasiyah. Ketika itu bangsa Mongol unggul padahal ilmu pengetahuan yang mereka miliki masih terbelakang dibandingkan dengan daulah Abbasiyah. Dan contoh-contoh seperti ini banyak sekali dalam sejarah.

Jadi apa sebenarnya yang menjadi sebab utama kemunduran itu?
Lebih 14 abad yang lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita akan datangnya masa seperti ini serta penyebabnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Hampir terjadi keadaan yang mana ummat-ummat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang yang makan mengerumuni makanannya." Salah seorang sahabat berkata; "Apakah karena sedikitnya kami ketika itu? Nabi berkata: Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai ghutsa' (buih kotor yang terbawa air saat banjir). Pasti Allah akan cabut rasa segan yang ada didalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn. " Kata para sahabat: "Wahai Rasulullah, apa Wahn itu?
Beliau bersabda: "Cinta dunia dan takut mati." (HR. Abu Daud)

Cinta dunia dan takut mati adalah dua hal akan saling berbanding lurus dalam hati seseorang, ketika cinta dunia menguasai hatinya maka dipastikan ia pun akan semakin takut terhadap kematian. Dan penyakit inilah yang menimpa kebanyakan kaum muslimin sekarang ini. Dan bentuk efek dari wahn ini bisa kita lihat dari sabda Rasulullah berikut ini:
"Jika kalian berdagang dengan sistem riba, kalian ridha dengan peternakan, kalian ridho dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad maka Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Imam Ahmad, dan Abu Daud)


Maka tidak ada jalan bagi kita kaum muslimin untuk mencabut kehinaan ini dari diri kita, kecuali kita kembali kepada agama kita seperti yang telah disebutkan oleh hadist di atas: “Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian” . Dan kami ingatkan Anda dengan ucapan Imam Malik rahimahullah: “Tidak akan baik umat terakhir ini kecuali dengan kebaikan yang ada pada umat pertama” . Dan generasi pertama umat ini tidaklah baik dengan teknologi akan tetapi mereka baik dengan keteguhan mereka dalam memegang agama Islam.

Kembali Kepada Islam Adalah Solusinya, akan Tetapi Bagaimana Caranya?
"Barat meninggalkan agama yang salah, maka mereka maju. Sedang umat Islam meninggalkan agama yang benar, maka mereka tertinggal." -Dr. Mahmoud Husein, dosen Universitas al Azhar-

Berikut ini upaya-upaya kita untuk kembali pada agama kita:

Pertama: Kita memahami agama Islam dengan pemahaman yang benar sesuai yang dipahami oleh Nabi kita Shallallahu alaihi was sallam, para sahabat Beliau (semoga Allah ridha kepada mereka semua) dan para pendahulu kita yang shalih.

“dan bahwa ( yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (Hadist Shahih, dishohihkan oleh al-Albani dalam tahrij syarh At-Thohawiyah No. 810).

Jauhnya kita dari pemahaman Islam yang benar hanya akan melemahkan dan menceraiberaikan kita. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan bagi kita untuk memahami Islam dengan pemahaman yang benar sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat Beliau dan para pendahulu kita yang shalih memahaminya (semoga Allah ridha kepada mereka semua). Hal ini kita lakukan agar kita dapat mengikuti jalan Allah yang lurus.

Kedua: Menerapkan Islam (yang telah dipahami dengan benar) dengan penerapan yang tepat, dan tidak mengingkarinya sedikitpun baik itu perkara yang kecil (menurut anggapan sebagian orang) atau perkara yang besar, hanya karena kita tidak mampu melakukan atau dengan kata yang lebih tepat kita tidak menginginkannya atau berat bagi kita untuk berpegang teguh dengan perkara ini atau itu.
Wajib bagi kita untuk bertakwa kepada Allah semampu kita. Dan wajib bagi kita untuk memahami, bahwa barang siapa yang tidak menerapkan sebagian perintah-perintah agama, bisa jadi posisi dia adalah orang yang berdosa , maksiat, ataupun fasik. Namun orang yang mengingkari sesuatu perintah dari agama Islam (walaupun yang diingkari itu sunnah) atau mengingkari suatu larangan agama maka dia adalah orang kafir (jika ia telah mengetahui kebenaran yang diingkarinya itu) sampai ia kembali dan bertaubat. Dan inilah yang banyak menimpa orang-orang ketika kita dapati mereka tidak menerapkan sebagian ajaran Islam atau tidak meninggalkan sebagian larangannya. Setan masuk kepada mereka dan menghiasi mereka, hingga mereka mengatakan: “Tidak, ini bukan merupakan kewajiban atau ini bukan larangan.” Mereka menentang dan menyangka sudah lepas dari tanggung jawab serta bebas dari siksaan karena keingkarannya. Padahal masalah yang sebenarnya sangat jauh sekali dari yang mereka sangkakan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam dada mereka.

Ketiga: Kita menyeru dan mengamalkan agama ini dengan sebenar-benarnya, yaitu Islam yang telah kita pahami dan praktikan dengan betul. Dan sebesar-besar bentuk da’wah adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan (al-amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar). Rasulullah Shallallahu alaihi was sallam bersabda: “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, kalian benar-benar memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar atau Allah benar-benar akan menimpakan kepada kalian siksa kemudian kalian berdoa dan tidak dikabulkan” (Shohih Sunan Tirmidzi menurut Al-Albani No.1762)

Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengajak manusia dan menyeru mereka kepada yang baik dan mencegah dari yang buruk, dan kita mulai dari diri kita sendiri, kemudian orang yang terdekat. Dan kita memulai dari rumah kita dengan mencegah dan menghilangkan keburukan yang ada di dalamnya. Menasihati dengan lemah-lembut orang yang berada dalam tanggungan kita terlebih dahulu. Kemudian jika mereka tidak menghiraukan maka bagi kita untuk memaksa mereka, karena Rasulullah Shallallahu alaihi was sallam telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah bertanya kepada setiap pengembala tentang apa yang digembalakannya apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai-sampai seorang laki-laki akan ditanya tentang keluarganya” (Shohih Jami’us Shoghiir : 774)

Inilah jalan yang bisa kita tempuh untuk menghilangkan kekalahan yang menimpa kita dan umat kita, serta membebaskan tanah-tanah kita yang terampas. Karena kitalah yang berhak mendapat kemenangan dari Allah (dengan keutamaan-Nya dan kemuliaan-Nya) dengan sebab kembalinya kita kepada agama kita dan pertolongan dari Allah. Dan setelahnya, jika kita mampu untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dari yang dimiliki Eropa dan Amerika maka tidak ada masalah, bahkan ini merupakan hal yang diharapkan. Wallahu Ta’ala A’lam.

Cinta dan Benci

Tulisan ini juga dimuat di wimakassar.org rubrik muhasabah.

Aku mencintai rembulan dengan pendar putihnya, tapi ia tetaplah bulan yang punya sisi gelap, hingga aku membencinya, ah bukan, pada kelam hitamnya.

Dalam penghambaan hanya kepada Allah, selayaknya setiap jenak kehidupan selalu tersandarkan hanya karena-Nya. Pun dalam persoalan hati, lebih spesifik cinta dan benci; semua akan bernilai dan mulia jika ia hadir bersama ketulusan sebab, untuk, dan hanya karena-Nya.

Dengan keilmuan kita akan hak dan batil, salah dan benar –insya Allah- kebencian akan kesalahan dan kecintaan akan kebenaran dengan mudah kita hadirkan hanya karena Rabbul Izzati. Tapi kadang ada penzhaliman ketika kita menerapkannya pada satu sisi saja, ia tidak lagi menempati tempat yang semestinya, ia labil dalam kebingungan, posisinya absurd -tidak jelas-. Ibarat melihat bulan sabit kita kadang terpesona pada cahayanya saja dan mengabaikan sisi hitam yang menutupi purnamanya atau sebaliknya kita hanya sibuk menggerutui noda hitamnya dan lupa bahwa bahwa masih ada sisi putih yang lebih cantik untuk dipandang.

Tak jarang cinta dan benci menjadi buta, ketika ia datang dengan sebab yang tak terduga disertai alasan yang dipaksakan atau kalau perlu dibuat-buat, hingga pertanyaan yang mengikutinya bukan lagi APA tapi SIAPA. Padahal noda hitam pasti tetap ada meski pada purnama yang justru memastikan bahwa ia adalah bulan bukan khayalan.

Proporsional dan objektif; adalah kata kunci sekaligus jawaban untuk masalah di atas.

Proporsional, kata lain dari adil. Dengan Kalam-Nya Allah Subahnahu wa Ta'ala mewanti-wanti kita untuk bersikap adil kepada siapapun hatta itu adalah musuh kita. Dalam soal dua rasa (cinta dan benci) keadilan mesti tetap dikedepankan pada siapapun. Ketika kita mencintai seseorang maka ingatlah pada saat yang sama ada sesuatu yang mungkin kita bisa benci darinya, sebaliknya ketika ada yang mengharuskan kita untuk membencinya maka jangan lupa bahwa alasan kita untuk mencintainya pun juga mungkin lebih banyak.

Begitu juga dengan kadarnya, ketika kesalahannya adalah sebiji maka bencilah ia sekadar sebiji itu jangan kurang apalagi lebih begitupun sebaliknya.

Objektif, sebagaimana adil ia juga berlaku untuk semua dan siapa saja. Saat cinta atau benci, maka seharusnya ia bukan ditujukan pada pelaku tapi pada laku-lakunya, pada sebab kenapa kita harus mencintai atau membencinya. Ketika ada kata “Aku mencintai/membenci fulan” maka hakikat seharusnya adalah “Aku mencintai/membenci perlilaku fulan”.

Tak ada kecintaan mutlak kecuali kepada Allah dan kebaikan yang Dia telah tetapkan dan tak ada kebencian mutlak kecuali kepada setan juga kepada keburukan yang ia tebarkan.

Yah, kita memang harus menjadi raja atas cinta dan benci itu, jangan sampai mereka menguasai diri kita atas dasar nafsu belaka yang akhirnya hanya akan membuat kita buta meski lidah melisankan hanya karena-Nya, sebab setan penuh tipu daya.

Jadi, saat cinta dan benci mesti ada, dan ketika wala’ dan bara’ harus berwajah seharusnya kita tahu hati kita seperti apa…

Makassar, 28 Jumadil Ula 1430 H

Kita, Ukhuwah dan Sandiwara

Tulisan ini juga dimuat di wimakassar.org rubrik muhasabah.

Senyumnya tak lagi seindah dulu, saat awal aku diajak untuk menuntut ilmu. Sapaannya tak selembut dan sesering dulu, saat menutup aurat aku masih canggung dan malu, kini ketika aku terbaring sakit berkeluh tak ada pelipur yang membuat haru meski sekedar pelaru rindu. Ah, seandainya bukan karena Rabb-ku aku ingin kembali seperti dulu. Atas nama ukhuwah aku menuntut kemana ia berlalu?

Saudaraku, mungkin setiap hari kita senantiasa menyebut kata ukhuwah, menceramahkannya, menceritakan keindahan dan keutamaannya dan –mungkin- tak jarang kita bahkan terkagum-kagum dengan kisah-kisah lampau yang menggambarkan keajaiban ukhuwah yang terjalin di antara pejuang sofwah Islamiyah, menjadikan kita bersemangat untuk mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari kita baik kepada sesama penuntut ilmu dan pejuang dakwah maupun kepada orang awam sekeliling kita, terlebih kita tahu bahwa ia adalah salah satu sendi agama kita.

Tapi pernahkah kita berpikir dan merenung, seiring dengan perjalanan waktu ia kadang menguap tak terasa dan meninggalkan kesan bahwa ia hanya dibutuhkan untuk sementara, hanya untuk menarik simpati belaka.

Suatu saat kita disibukkan untuk mengajak orang-orang ke jalan Allah, dengan bahasa-bahasa lisan dan gerak yang memukau, tapi pada saat yang sama kita justru melupakan orang yang pernah berjuang dengan kita dan kini terbaring tak berdaya ditemani kenangan indah masa lalu saat ia terpukau dengan bahasa indah kita, terlepas kita lupa atau tidak tahu.

Saudaraku –ah, kata ini terlalu indah hingga saya suka mengulangnya, tapi mudah-mudahan tidak membosankan apalagi menghilangkan makna keanggunannya-, kita memang bukan orang sempurna dalam segala hal, di tengah kesibukan kita apalagi seruan iblis la’natullah ‘alaihi memang kadang membuat pikiran kita terpecah -parsial- antara prioritas dan bukan, bahkan membuat kita lupa dan menjadikan kita tak sadar. Tapi tahukah kita dalam keadaan penuh kesadaran pun kadang kita menginjak keagungan ukhuwah tersebut. Penyakit individualis adalah propaganda iblis untuk mengikis ukhuwah yang seharusnya menjadi ciri khas kaum muslimin terlebih bagi para pejuang dakwah telah menimpa kebanyakan kita, jika begitu apa yang membedakan kita dengan orang awam? Mungkin hanya pakaian dan beberapa amalan lainnya.

Saudaraku, manusia terbaik dan paling bertaqwa yang pernah ada di muka bumi ini ditegur oleh Sang Khalik ketika beliau tidak memperdulikan seorang buta datang kepadanya untuk bertanya dan lebih mementingkan berbicara dengan orang kafir yang sombong dengan harapan mereka masuk Islam. Tak tanggung-tanggung, teguran itu diabadikan-Nya dalam kitab suci-Nya, Al Qur’an al Karim dan dikhususkan dalam sebuah surah yang bernama ‘Abasa (Ia bermuka masam) mungkin kita sudah tahu bahkan sudah menghapalnya.

Sejak teguran itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam semakin bersikap lunak kepada semua orang dan teguran itu semakin memposisikan beliau sebagai makhluk yang maksum (terjaga) dalam penjagaan-Nya.

Mungkin peristiwa tersebut di atas juga bisa kita samakan kebanyakan fenomena sekarang ini, ketika kehangatan ukhuwah hanya ada pada jumpa pertama, hanya menjadi senjata pamungkas untuk mengajak orang ke jalan Allah. Meski untuk tujuan baik lagi mulia tapi itu adalah tindakan yang hampir mirip dengan sandiwara, ukhuwah bukanlah kebutuhan sementara.

Saudaraku, tiap hari kita menyaksikan para pejuang yang datang dan pergi -futur- dan tahukah kita apa yang membuat mereka meninggalkan jalan yang seharusnya mengasyikkan ini? Kebanyakan mereka beralasan yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam ukhuwah itu. Di satu sisi alasan mereka memang tidak bisa kita benarkan sebab dalam perjuangan kita hanya membutuhkan Allah dan keridhoan-Nya tanpa mengharap dari makhluk, tapi di sisi yang lain seharusnya membuat kita intropeksi akan perilaku ukhuwah kita yang memang kebanyakan temporer. Dari itu kita seharusnya semakin memperbaiki diri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah ditegur, tentu saja bukan hanya karena untuk mempertahankan keutuhan pejuang semata tapi lebih dari itu memang ia adalah kewajiban. Ukhuwah tidak hanya dibutuhkan untuk mengkader.

Saudaraku, tulisan ini bukan untuk memvonis siapapun, hanya sekedar nasehat buat penulis dan buat kita semua sebagai bentuk cinta atas dasar ukhuwah Islamiyah dan mudah-mudahan ia tak berakhir sampai di sini…

Makassar, Ba’da Isya 15 Jumadil Ula 1430 H