Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Jumat, 12 Juni 2009

Tiap Suku Mempunyai Tempat Minum Masing-masing

Tulisan ini juga dimuat di wimakassar.org rubrik muhasabah.

“Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing.” (QS. Al A’raf: 160).

Ketidaksempurnaan adalah hal yang biasa dan pasti ada pada diri seorang makhluk yang bernama manusia biasa. Itu adalah ketentuan-Nya yang tentu saja dibalik itu terkandung hikmah yang sangat banyak meski oleh sebagian kita kadang menganggapnya sebagai kekurangan bahkan kehinaan pada kondisi tertentu. Tiap manusia punya celah, punya kekurangan tak berbilang, namun tiap manusia pasti mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh manusia lainnya.

Dalam konteks kemasyarakatan, keanekaragaman adalah lumrah bahkan memang sudah seharusnya begitu agar hidup tetap seimbang. Beranekaragamnya keahlian, minat, bakat, profesi, keinginan, kemampuan dan sebagainya adalah tanda kebesaran Allah. Kita tidak bisa bayangkan jika semua orang dalam satu keinginan, misalnya semua ingin pekerjaan yang sama karena keahlian mereka sama, yakin kehidupan akan kacau, dan pincang dan mungkin lumpuh sama sekali.

Nyatanya tidak semua bisa kita peroleh atau mengerjakannya sendiri meski perbendaharaan langit dan bumi kita milik tapi harus ada pihak ketiga yang kita dan mereka saling membutuhkan. Pasti, karena kita memang tidak sempurna.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengibaratkan kaum mu'minin ibarat satu tubuh, dimana dalam berbagai keadaan semua organ harusnya turut andil, punya kontribusi tanpa kecuali. Dalam satu tubuh yang lengkap mesti ada yang menjadi kaki, tangan, kepala, hidung telinga, mata dan seterusnya. Semua menikmati apapun posisi mereka dan qana'ah dengan tugas masing-masing.

Seharusnya begitulah kaum muslimin, perbedaan tugas, strata, keahlian tidaklah dipandang sebagai bahan berpecah, apalagi untuk hasad atau memandang remeh yang lain.Selama berpijak di atas pondasi tauhid, tak layak ‘tubuh’ itu diceraiberaikan.

Arogan, mau menang sendiri, merasa paling benar dan jago adalah godam peretak sendi-sendi penghubung ‘tubuh’ itu. Tapi mau tak mau harus diakui semua harus merasakan perih, sakit ketika salah satu organ teramputasi. Mereka harus buta jika kehilangan mata, mereka akan pesot jika kaki tidak ada. Karena tangan bukan untuk berjalan, dan telinga hanya untuk mendengar bukan untuk melihat.

Dalam lingkup keluarga, lembaga, antar lembaga, komunitas hingga kaum muslimin seluruhnya panganalogian di atas tetap berlaku. Misalnya dalam suatu lembaga atau organisasi meski orang-orang yang berada di dalamnya mempunyai pandangan yang sama tetapi mereka harus siap melakoni peran yang berbeda sesuai dengan keahlian dan kecenderungannya masing-masing. Sekecil apapun peran itu dan serendah apapun tingkatannya tapi mereka semua tidak bisa diabaikan, mereka semua berjasa dan mereka semua adalah ‘pahlawan’.

Dalam lingkup yang lebih makro, antar organisasi Islam misalnya, maka kitapun mendapati sesuatu yang lebih plural, meski sekali lagi mempunyai visi yang sama tapi di tengah kehidupan dan problem yang kompleks tak semua akan memilih dan memiliki misi yang sama. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang tidak bisa mengerjakan semuanya.

Yah, kaum muslimin tanpa terkecuali tak bisa dipisahkan, kita semua saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Kadang perbedaan adalah anugerah yang harus disyukuri bukan untuk disesali, dicela atau saling mencari celah yang hanya akan menghilangkan berkah dan malah membuat lumpuh. Kebenaran sudah jelas, begitupun sumber dan sandarannya, ketika ada yang tersalah maka kewajiban untuk saling islah dengan hikmah. Dan ketika ada yang berbeda bukan berarti serta merta sesat atau menyempal, sebab mungkin saja kita minum dari mata air yang sama tapi ditempat yang berbeda, karena memang “tiap suku mempunyai tempat minum masing-masing.” Wallahu Ta’ala A’lam.

12 Jumadil Tsani’ 1430 H

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i