Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Minggu, 19 Juli 2009

Akal-akalan yang tak Masuk Akal; buat Penolak Hadits Ahad

Hadits Ahad Bukan untuk Aqidah
Saya sendiri tidak tahu kapan dan siapa yang pertama kali memunculkan pemikiran nyeleneh ini namun yang jelas pemikiran ini timbul dari orang-orang yang mengandalkan akal dan syak wasangka saja. Berbagai dalil akal mereka lontarkan untuk menguatkan pendapatnya, tapi yang namanya kesesatan memang takkan pernah masuk logika sehat dan tentu saja pasti berseberangan dengan dalil naqli (al-Qur'an dan as Sunnah).

“Hadits ahad tidak kuat (qathi) karena hanya diriwayatkan oleh satu orang”.
Ini sih pemikiran demokrator sejati. Alhamdulillah, pemikiran ini tidak merasuki penduduk Madinah ketika bertemu dengan Mush`ab bin Umair radhiyallahu anhu sang duta Rasulullah Shallallahu `alahi wa Sallam sebagian besar penduduk kota Madinah masuk Islam dengan sebab da`wah beliau, padahal Mush`ab sendirian artinya hadits yang ia sampaikan adalah ahad. Begitupun penduduk Yaman ketika bertemu dengan Mu`adz bin Jabal radhiyallahu anhu, penduduk Najran ketika bertemu dengan Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiyallahu 'anhu dan lain-lain.
Penganut pemikiran ini jika sekiranya mereka konsisten maka mereka tidak menyampaikan sesuatu kepada orang lain jika mereka sendirian, yah minimal dua orang agar apa yang disampaikannya tidak ditolak oleh orang lain!?

“Bukan ditolak, dapat dijadikan landasan dalam perkara selain aqidah (hukum, muamalah, amaliyah, fiqih, dan lain-lain) karena kita tidak boleh main-main dalam aqidah.”
Sepintas memang seperti pemikiran yang ‘sangat hati-hati’, namun kami lebih ‘ekstra hati-hati” menyatakan bahwa kita tidak boleh main-main dengan agama ini dalam perkara apapun, bukan hanya aqidah, sepakat?!
Diterima tapi tidak boleh diyakini jika berkaitan dengan aqidah namun boleh dalam perkara lain. Dari sini muncul kerancuan pokok. Mari kita cermati kasus berikut; ada hadits Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam yang menganjurkan kita untuk berlindung dari empat hal sebelum salam pada saat tahiyyat akhir yaitu: dari adzab neraka, adzab kubur, fitnah dajjal dan fitnah kehidupan serta kematian. Jika hadits ini adalah hadits ahad maka sesuai dengan pemahaman di atas kita tidak boleh meyakini keempat hal tersebut karena ini adalah masalah akidah tapi kita boleh saja mengamalkan hadits tersebut pada saat tahiyat karena ini dalam tataran fikih, singkatnya mengamalkan iya meyakini tidak boleh. Logika macam apa ini? Bagaimana mungkin orang berlindung dari hal yang tidak diyakininya. Lalu siapa sebenarnya yang bermain-main?!!!

Para sahabat, tabi`in dan atba`ut tabi`in tidak pernah mempersyaratkan kesahihan hadits dari segi banyak tidaknya orang yang meriwayatkan. Jika hadits tersebut disampaikan oleh orang yang terpercaya dan sampai dengan sanad yang bersambung maka wajib diimani dan dibenarkan, serta tidak ada keraguan untuk menjadikannya landasan dalam aqidah serta perkara yang lainnya, baik itu berupa hadits ahad maupun hadits mutawatir. Apakah generasi terbaik tersebut adalah orang yang suka bermain-main dan lalai dalam menjalankan agama ini? Tentu tidak, bahkan mereka adalah orang yang sangat wara` (hati-hati) dalam agama ini.

Akibatnya?
Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu `alahi wa Sallam melebihi semua Nabi `Alaihimus Salam; syafaat Beliau Shallallahu `alahi wa Sallam yang besar di akhirat; semua mu`jizat selain al Qur`an; jembatan, telaga dan timbangan amal, sifat hari kiamat dan padang mahsyar, proses permulaan makhluk, sifat malaikat dan jin, sifat neraka dan surga yang tidak diterangkan dalam al Qur`an; pertanyaan malaikat di alam kubur; adzab kubur; keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta`ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rezkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya; berita kepastian bahwa 10 sahabat dijamin masuk surga; bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka; semua tanda kiamat, seperti keluarnya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa `Alaihi Salam, munculnya matahari dari barat; dan aqidah lainnya hanya akan menjadi dongeng belaka jika mengikuti pemikiran sesat ini. Nau`dzu Billahi min Dzalik.

Penutup
Memperjuangkan agama Allah tidak hanya butuh semangat, tapi juga harus dilandasi dengan ilmu yang shahih. Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta`ala memberi kemenangan kepada orang-orang yang dengan pemikirannya yang sesat sehingga lebih dari sepertiga aqidah dalam agama-Nya terkikis. Dan penulis sangat yakin adanya ‘pihak ketiga’ yang memanfaatkan golongan ini untuk menggerogoti Islam, jika dibiarkan maka Islam hanya tinggal nama!! Na`udzu Billahi min Dzalik.
Wallahu Ta`ala A`lam
Coretan lama waktu masih sibuk 'perang' di kampus

Jumat, 03 Juli 2009

Untuk Pejuang; Baca dan Tulislah!

Di tengah kesibukan dan aktivitas kita ada baiknya kita menyempatkan diri di waktu senggang untuk hal yang bermanfaat, seperti membaca atau menulis. Membaca mungkin sudah menjadi kebiasaan kita, tapi menulis mungkin jarang diantara kita yang melakukannya. Tulislah apa yang anda anggap bermanfaat untuk Anda dan orang lain meski tak harus Anda sebar –hanya untuk konsumsi pribadi-.

Banyak hal yang bisa ditulis, pengalaman indah bersama para ikhwah, penjelasan suatu hukum, bantahan terhadap syubhat dan sebagainya. Tulislah dengan teknik dan bahasa Anda sendiri. Anda akan menuai banyak manfaat dari aktivitas ini. Selain untuk mengasah kemampuan menulis bisa jadi tulisan Anda menjadi media untuk dakwah lebih lanjut mungkin akan menjadi prasasti nyata bahwa Anda pernah ada meski telah tiada.

Simpanlah tulisan-tulisan Anda itu dengan baik. Jika kepenatan dan kebosanan mulai menjangkiti Anda, maka bukalah tulisan itu dan bacalah. Mudah-mudahan dengan itu semangat Anda kembali bangkit, sebab tulisan itu akan memberi kekuatan tersendiri yang tidak diberikan oleh tulisan orang lain. Yah, karena tulisan itu adalah karya Anda sendiri! Anda akan bernostalgia, betapa semangatnya Anda dulu, indahnya hidup bersama para pejuang dan kenangan indah lainnya. Maka, tulislah selagi Anda bersemangat!

Ini hanyalah sebuah upaya agar kita tetap dalam barisan perjuangan. Meski tak harus, tapi Insya Allah bermanfaat.

Cerdas Beribadah di Bulan Rajab

Alhamdulillah, bulan Rajab kembali bersua dengan kita, yakni salah satu bulan haram di antara empat bulan lainnya, sebagaimana firman Allah:
"Daripadanya ada tempat bulan haram." (Qs. At-Taubah:36).

Namun banyak sekali amalan-amalan yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin untuk memuliakan bulan ini dengan sesuatu yang tidak berdasar dari Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam. Juga tidak sedikit yang hanya sekedar ikutan saja melaksanakan amalan tersebut tanpa mengetahui apa yang menjadi dasar dari amalannya tersebut. Entah dengan mengkhususkan puasa, shalat bahkan acara-acara lainnya. Salah satu kaidah yang disepakati oleh para fuqaha bahwasanya “Setiap ibadah itu pada dasarnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya”.


Dalam kaidah hukum Islam, aktifitas apapun apakah urusan akidah atau ibadah jika tidak dikerjakan atau dibenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka aktifitas itu dinamakan bid'ah dan Nabi shallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.”

Sebagai seorang Muslim kita semua pasti telah sepakat bahwa standar kebenaran dalam agama kita berasal dari al-Qur'an dan as Sunnah. Tidak semua yang kelihatan baik di mata manusia itu baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, meski kebanyakan manusia atau bahkan seluruh manusia melakukannya. Misalnya puasa, pada dasarnya puasa adalah ibadah yang amat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala tapi jika itu dilakukan dengan sebab atau pengkhususan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam maka jelas puasa itu akan tertolak.

Menanggapi banyaknya amalan bid'ah yang dilakukan oleh sebgaian kaum muslimin di bulan Rajab, dalam salah satu khutbahnya Syaikh Muhammad Shalih bin ‘Utsaimin mengatakan,
“…Maka janganlah engkau menganiaya dirimu di dalamnya (empat bulan tersebut), dan yang Allah Ta'ala telah haramkan di dalamnya berperang kecuali untuk membela diri. Inilah bulan-bulan yang salah satunya ialah bulan Rajab, tidaklah dikhususkan dengan sesuatu yang telah dijelaskan dari ibadah-ibadah, kecuali bulan Muharram, maka di dalamnya terdapat keutamaan berupa shiyam, dan bulan Dzulhijjah, maka di dalamnya terdapat ibadah qurban.
Sedangkan bulan Rajab, maka sesungguhnya tidak ada pengkhususannya berupa shiyam maupun qiyam, tidak ada hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap hadits yang datang tentang keutamaan shalat di bulan rajab atau keutamaan shiyam di bulan rajab, seluruhnya merupakan hadits-hadits dha'if sekali, bahkan sebagian ulama telah mengatakan bahwa sesungguhnya hadits-hadits tersebut maudhu'ah (palsu) dan makdzubah (dusta) atas nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka tidaklah halal bagi seseorang untuk menyengaja (berbuat sesuatu) atas dasar hadits-hadits yang dha'if ini. Bahkan yang dikatakan sesungguhnya itu adalah hadits-hadits maudhu', tidaklah halal bagi seseorang untuk menyengaja (berbuat sesuatu) atasnya, dan dia mengkhususkan bulan rajab dengan shiyam atau shalat. Tidak halal.”

Karena sandaran yang lemah lagi palsu

Amalan-amalan yang umumnya dilakukan dengan berdasar pada hadits lemah bahkan palsu, sebagaimana kebanyakan kaum muslimin sekarang ini yang mengkhususkan berpuasa di bulan Rajab dengan berdasar pada hadits:
“Sesungguhnya di surga terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang berpuasa selama satu hari dibulan Rajab, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memberinya minum dari sungai tersebut.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam al-Majrubin dan al-Baihaqi dalam Fadhail al-Auqat dan al-Syairazi dalam al-Alqab seperti yang diisyaratkan oleh al-Suyuti. Kesemuanya dari Anas. Hadits ini telah dihukumi palsu oleh beberapa ulama seperti Ibn al-Jauzi, al-Dzahabi dan Ibn Hajar dalam Lisan al-Mizan. Penyebabnya adalah di dalam sanad hadits ini terdapat perawi pendusta yaitu Manshur ibn Yazid. Ibn al-Jauzi mengatakan banyak yang tidak diketahui. Akan tetapi al-Suyuti dan Ibn Hajar dalam kitab Tahyin al-'Ajab hanya mendhaifkan hadits ini, berbeda dengan hukuman beliau dalam kitab Lisan al-Mizan. Beliau berkata ”Isnadnya secara umum adalah dha'if, akan tetapi ia belum sampai menjadikan hadits ini palsu”.

Dalam Kitab Durratun Nashihin yang ditulis oleh Dr Ahmad Luthfi Fathullah MA, setidaknya ada 9 hadits dhaif dan palsu yang berkaitan dengan bulan Rajab termasuk hadits di atas.

Ibnu Hajar al-Asqalani ketika beliau berkata: “Tidak dijumpai hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa Rajab, puasa pada hari tertentu dibulan Rajab dan beribadah pada malam tertentu dibulan Rajab. Kepastian ini telah ditetapkan sebelumnya oleh al-Imam al-Hafizh Abu Ismail al-Harawi, dia berkata:”Adapun hadits-hadits mengenai Keutamaan bulan Rajab atau Keutamaan puasa Rajab atau puasa pada hari-hari tertentu dibulan Rajab cukuplah jelas dan tebagi menjadi dua bagian yaitu Dha'if (lemah) dan Maudhu' (Palsu)”

Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga telah mengisyaratkan qaidah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Beliau berkata dalam kitab al-Manar al-Munir
“Semua Hadits mengenai puasa Rajab dan Shalat pada beberapa malam di bulan Rajab adalah dusta yang nyata”

Syaikh ‘Utsaimin sendiri pernah mendapati orang-orang pendatang di negeri beliau berpuasa pada hari pertama bulan Rajab dengan alasan bahwa hal ini umum mereka laksanakan di negeri asalnya. Kemudian syaikh menasehati mereka bahwa sesungguhnya amalan tersebut adalah bid'ah dan sesungguhnya tidak boleh seseorang untuk mengkhususkan suatu waktu ataupun tempat dengan ibadah yang Allah dan rasul-Nya tidak meng-khususkannya dengannya. Oleh karena kita beribadah dengan syari'at Allah, bukan dengan hawa nafsu kita dan bukan dengan kecenderungan kita dan keinginan kita. Sesungguhnya wajib atas kita untuk berkata "Kami mendengar dan kami taat, kami mengerjakan apa-apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang Allah larang, dan kami tidak mensyariatkan diri-diri kami dengan ibadah-ibadah yang Allah dan rasul-Nya tidak mensyariatkannya.”

Kreatif tidak diperlukan
Sesungguhnya di dalam apa-apa yang datang dalam kitabullah dan di dalam apa-apa yang telah shahih dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dari amal-amal yang shalih telah cukup daripada apa-apa yang datang di dalam hadits-hadits dha'ifah (lemah) atau maudhu'ah makdzubah (palsu lagi dusta) atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Sebuah ungkapan yang sangat bijak dan cerdas dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah, “Sedikit tapi sunnah jauh lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid'ah.”
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maka siapa saja yang hidup sepeninggalku niscaya ia akan menemukan banyak perselisihan. Oleh karena itu ikutlah sunnahku dan sunnah para penerusku yang mendapat petunjuk (al-Khulafaur Raasyidun)…gigitlah (peganglah) sunnah tersebut kuat-kuat dan jauhilah olehmu perkara-perkara baru yang diadakan orang karena apa yang diada-adakan tersebut adalah bid'ah”.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam melewati hari-hari kita dengan ibadah-ibadah yang kita laksanakan sesuai apa yang telah diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Amin. Wallahu a'lam.
Diterbitkan di buletin al Balag edisi 23 tahun IV Rajab 1430