Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Rabu, 11 Mei 2011

Syi'ah Tidak Pantas Disebut Mazhab

Pantas disebut Mazhab?
Sejak dahulu para pengikut syi’ah memperjuangkan agar ajaran yang mereka anut diakui sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Mereka ingin agar cap sesat terhadap mereka hilang dengan legalitas mazhab tersebut.

Di beberapa Negara Islam ajaran syi’ah adalah ajaran terlarang dan divonis sesat seperti di negara Arab Saudi, Brunai dan Malaysia. Di Indonesia meski belum di atur dalam peraturan pemerintah, namun MUI telah memfatwakan bahwa syi’ah adalah ajaran sesat dan menyesatkan. Meski demikian para pengikut sy’iah dengan berbagai cara gencar mewacanakan bahwa syi’ah adalah salah satu mazhab dalam Islam.


Kita kerap mendengar mereka berkoar-koar dalam tulisan, dalam diskusi-diskusi, bahwa mereka adalah mazhab akhlak dan cinta. Namun dalam kenyataannya ajaran syi’ah adalah ajaran yang penuh dengan kebencian. Mereka selalu berdalih mengaku cinta ahlul bait (keluarga Rasulullah), tapi mereka tidak bisa menyembunyikan kebencian mereka pada sahabat Rasulullah bahkan pada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka anggap kafir. Misalnya tuduhan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai pelacur. Na’udzubillah.

Akhlak apa yang penuh dengan laknat ini? Cinta apa yang membenci orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?

Kembali pada persoalan wacana legalitas syi’ah sebagai mazhab. Muncul pertanyaan di sini. Apa tolak ukur sehingga sebuah ajaran itu dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam? Apakah semudah itu? Bagaimana jika ahmadiyah ataupun NII yang marak diberitakan baru-baru ini juga minta dianggap sebagai salah satu mazhab?

Mazhab dan Perbedaanya di dalamnya
Kata mazhab berasal dari kata zahaba yang artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah: Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.

Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat ulama mazhab itu adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini.

Jika kita meneliti karya-karya ataupun fatwa-fatwa para imam madzhab yang dibukukan maka kita akan mendapatkan bahwa perbedaan mereka adalah pada persoalan fikih. Dengan kata lain mereka berbeda pendapat pada masalah cabang dalam agama ini, dimana seseorang yang mumpuni memang bisa melakukan ijtihad, tentu saja dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan Hadits yang sahih. Contohnya saja permasalahan yang mana lebih afdhal, shalat sunnah setelah shalat Jum’at dikerjakan  di masjid atau di rumah? Berapa jumlah rakaatnya, apakah dua atau empat? Masing-masing madzhab bisa saja berbeda pendapat dalam masalah ini.

Singkatnya perbedaan pendapat dalam madzhab ini adalah sesuatu yang bisa ditolerir.

Adapun dalam masalah akidah maka mereka semua sama. Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam.

Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul, tidak seperti keyakinan Ahmadiyah yang menyatakan bahwa si Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala yang ghaib, mengetahui yang segala yang akan terjadi, dan mengetahui dan telah menetapkan segala sebab akibatnya, tidak sebagaimana Syi’ah yang menisbatkan sifat bada’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kitab pegangan syi’ah rafidhah, Ushulul-kaafi Fi’I kitaabit-tauhid hal : 1/331, tertulis “Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah”.

Bada’ adalah baru diketahui setelah peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain sesuatu yang belum terjadi adalah masih samar. Ini adalah sifat yang merendahkan keilahiyan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal dalam surah An-Naml : 65, Allah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di bumi dan di langit yang mengetahui segala perkara yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lucunya, Syi’ah Rafidhah justru meyakini bahwa para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan tak ada sedikitpun yang samar baginya.

Akidah Sesat Syi’ah

Selain yang telah dijelaskan di atas berikut ini akan kami paparkan beberapa akidah nyeleneh dari syi’ah rafidhah.
1.    Keyakinan Rafidhah bahwa Al-Qur’an telah diubah
Rafidhah yang dikenal dewasa ini dengan Syi’ah, mengatakan bahwa: Al-Qur’anul Karim yang ada pada kita (yang kita kenal ini) ia bukan Al-Qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia telah mengalami perubahan, penggantian, penambahan dan pengurangan.

Mayoritas ahli hadits Syi’ah beranggapan adanya pengubahan dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Annury Ath- Thibrisi dalam bukunya “Fashul khitab fii tahrifi kitab Rabbil-Arbab. Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini berkata dalam bukunya “Ushulul-Kafi” pada bab yang mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an hanyalah para imam yang  diriwayatkan dari Jabir, ia (Jabir) berkata saya mendengar Abu Ja’far berkata ”siapa yang mengaku telah mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukan seluruh isinya sebagaimana yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia seorang pendusta, tidak ada yang mengumpulkan dan yang menghapalkannya, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan Ali bin Abi Thalib, dan para imam sesudahnya.”

Rafidhah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak seperti al-Qur’an yang masih tersembunyi yang di antaranya isinya ada surat “Al-Wilayah”. Dan di antara anggapan orang-orang syi’ah bahwa di sana ada satu ayat yang hilang dari surat Alam Nasyrah. Ayat itu berbunyi: “waj’alnaa ‘Aliyyan Shihraka” Artinya, “dan kami jadikan Ali menantumu”.

Sungguh mereka tak merasa malu dengan anggapan seperti ini, meskipun mereka mengetahui bahwa surat “alamnasyrah” ini termasuk surat Makiyyah, yang mana Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu belum menjadi menantu Rasulullah pada saat itu (di Makkah).

2.    Kebencian kepada para Sahabat Nabi
Aqidah Rafidhah berpijak di atas pencacian, pencelaan dan pengkafiran terhadap sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Diungkapkan oleh Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ul-Kaafi yang diriwayatkan dari Ja’far: “Semua sahabat sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam murtad (keluar dari Islam) kecuali tiga, kemudian saya bertanya kepadanya: siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.”

Mereka (Syi’ah) mengatakan dalam kitab: “Miftahul Jinan” “Ya Allah, berikanlah kepada Muhammad dan keluarganya shalawat, dan laknatilah ke dua patung Quraisy, kedua jibt dan thaghutnya dan kedua anak perempuannya (maksudnya: Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah).

Mereka mengadakan pesta besar-besaran dalam rangka merayakan hari kematian Umar bin Khattab, dan memberikan penghargaan kepada pembunuhnya, Abu Lu’lu’ah seorang yahudi dengan gelar “Pahlawan Agama”. Di atas Kuburan  Abu Lu’lu’ah yang mereka bangun dengan sangat megah, tertulis laknat kepada Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.

Lihatlah, betapa besar kebencian dan kotornya sekte ini, yang dinyatakan sudah keluar dari agama, dan betapa buruk dan kotornya ucapan-ucapan mereka yang dialamatkan kepada manusia-manusia terbaik setelah para nabi, yang mereka dipuji oleh Allah dan rasul-Nya, dan umat telah sepakat akan keadilan dan keutamaannya, serta sejarah telah mencatat kebaikan-kebaikannya, kecepatannya dalam masuk agama Islam, dan jihadnya dalam menegakkan agama Islam.

Masih banyak penyimpangan mereka dalam masalah akidah, tapi untuk menuliskannya semuanya perlu berhalaman-halaman bahkan berjilid-jilid buku. Dan lembaran ini tentu saja tidak cukup untuk itu. Namun dari penjelasan di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa akidah syi’ah rafidhah betul-betul telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sehingga sangat sulit untuk menghilangkan cap sesat pada sekte sempalan ini apalagi melabelinya sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Wallahu a’lam.

Ditulis dari berbagai sumber

Tulisan ini dimuat di www.wimakassar.org dan www.tanaasuh.com. Dapat juga disimak di Buletin Al-Balagh edisi 21 tahun 1432H.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i