Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Sabtu, 11 Juni 2011

Buat Para Pendamba Khilafah

Saya pernah mendapat SMS seperti ini, 
“Jadi apakah dengan tegaknya khilafah umat dapat sejahtera dan mengerti akan agama Islam ini..? Sebagaimana dalam hadits bahwa khilafah akan tegak kembali sebagaimana di atas manhaj nubuwwah yang dilakukan para khullafaurrasyidin. Pertanyaannya adalah siapakah yang akan memperjuangkan atas tegaknya khilafah tersebut? Apakah akan datang sendiri atau sebagaimana firman Allah, “Barangsiapa yang menolong agama Allah niscaya Allah pun menolongnya”
 Tidak sulit untuk menebak arah pertanyaan di atas. Dengan tegaknya khilafah maka umat Islam akan sejahtera, mereka akan semakin mengenal Islam. Begitu? Tunggu dulu!
Mari kita lihat sejarah kekhalifaan. Beberapa periode kekhalifaan justru ditunggangi oleh pemahaman sesat. Ambil contoh ketika terjadi fitnah ajaran sesat bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ajaran sesat yang disebarkan oleh kaum Mu’tazilah ini justru didukung oleh khalifah pada saat itu, sehingga banyak ulama yang menentang pendapat tersebut disiksa. Termasuk Imam muhadditsin dan mazhab, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dipenjara, disiksa dengan cambukan di depan khalayak hanya karena mempertahankan akidah yang shahih, al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Apa yang bisa dibanggakan dengan kekhalifaan seperti ini?

Atau taruhlah sistem kekhalifaan sesuai dengan manhaj nubuwwah. Apakah dengan pemerintahan seperti itu bisa dengan mudah mengubah pola pikir umat dengan drastis? Tidak!

Mari kita cermati kisah nabi Musa alaihis salam dengan Bani Israil. Setelah sekian lama berada dalam cengkraman kekuasaan dan perbudakan oleh Fir’aun la'natullah, Bani Israil kemudian dibebaskan oleh Allah dengan diutusnya Nabi Musa alaihis salam ke tengah-tengah mereka. Namun apa yang terjadi? Setelah mereka menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla dengan mata kepala mereka sendiri, bukannya malah bersyukur dan berterima kasih, Bani israil yang bebal ini justru minta kepada Musa untuk dibuatkan “tuhan” berupa berhala untuk mereka sembah.

Ketika Musa alaihis salam pergi selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu dan menitipkan Bani Israil kepada saudaranya, Harun alaihi salam. Sepulangnya, nabi Musa marah besar karena mendapatkan mereka sudah menyembah patung sapi. Harun sendiri tidak bisa mencegah mereka melakukan hal tersebut. Lihatlah, Allah Ta’ala mengaruniakan kepada mereka pemimpin shaleh lagi kuat tapi tidak bisa dengan serta merta merubah pikiran-pikiran mereka yang terlah diliputi dengan kesyirikan.

Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah Nabi Musa alahis salam dengan Bani Israil ini dikaitkan dengan dengan pendirian khilafah adalah bahwa mendirikan khilafah yang Islami tidak cukup dengan kepemimpinan. Umat harus ditarbiyah dengan baik, akidah mereka terlebih dahulu harus dibersihkan dari segalah kesyirikan, ibadah harus dibersihkan dari segala perkara bid’ah. Ini tentu melalui proses yang panjang.

Jadi secara pribadi saya kurang setuju jika kita mengatakan bahwa dengan khilafah akan merubah dengan serta merta umat yang bobrok menjadi umat yang Islami.

Maaf, saya bukannya benci dengan khilafah, bahkan saya adalah pendamba khilafah. Tapi saya menganggap bahwa khilafah adalah buah dari kerja-kerja dakwah dan itu bukan tujuan utama.

Harus dengan Kerja Nyata
Untuk mendirikan khilafah haruslah dengan kerja-kerja nyata. Mari kita biasakan umat Islam untuk hidup dalam sistem yang Islami. Mari kita biasakan anak-anak sejak dini dengan kehidupan Islami, dengan membangun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang menggunakan kurikulum Islam. Agar anak-anak kita tidak dicekoki lagi dengan pelajaran-pelajaran sekuler bahkan atheis. Dan masih banyak pos-pos lain yang harus kita “Islamkan”. Ini perlu kerja nyata, tak bisa hanya dengan orasi, demonstrasi dan semacamnya.

Tauhid yang Pertama dan Utama
Saya tidak ingin berprasangka buruk terhadap umat sekarang ini, tapi ini adalah realita yang ada. Lihatlah saudaraku, kesyirikan masih merajalela, bahkan menjadi hiburan dan diiklankan. Praktek bid’ah masih membudaya. Untuk mempersiapkan mereka menyongsong khilafah tidak cukup dengan semangat dan kesadaran akan pentingnya khilafah. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang hatinya masih terpaut dengan sesembahan selain Allah?

Mereka memang berislam, mengucapkan kalimat syahadat, tapi masih mencampuradukkannya dengan beribadah kepada selain Allah. Jimat, kuburan, uang dan lainnya, itulah sederet berhala diantara sekian banyak berhala yang harus kita singkirkan dari pikiran umat ini.

Dengan tauhid yang benar, hukum Allah apa yang akan dia tolak? Tauhid yang benar menjadikan manusia ikhlas dengan segala ketetapan dan hukum-hukum Allah. Maka bisa dibayangkan bagaimana jika semua manusia bertauhid dengan baik?

Saudaraku, sekali lagi khilafah adalah buah dari usaha, ia adalah aksioma yang tak terelakkan. Jika diibaratkan dengan bangunan maka pondasinya adalah Tauhid. Apa jadinya bangunan yang dibangun di atas pondasi yang lemah? Mungkinkah bisa kita membangun suatu bangunan langsung dengan atapnya? Ia bisa roboh sebelum bangunannya utuh, atau kalaupun ia jadi maka takkan bertahan lama.

Maka, kalau kita ingin menolong agama Allah, perkuatlah “pondasi”nya. Dari realita yang ada, tidak bisa kita pungkiri bahwa akidah umat muslim saat ini masih sangat rapuh. Maka sudah sepatutnya agenda-agenda dakwah kita dipenuhi dengan jadwal-jadwal untuk membina umat kepada akidah yang shahih.

Tegakkan syariat dari dirimu
Hal yang tidak boleh kita lupa adalah diri kita. Mari kita mulai dari diri kita. Sudah tegakkah syari’ah itu dari diri kita? Bagaimana dengan pemahaman kita dengan agama ini? Bagaimana shalat-shalat kita sudah sesuaikah contoh dari Rasulullah? Bagaimana bacaan dan hapalan Qur’an kita? Bagaimana pergaulan kita dengan lawan jenis, sudah islamikah? Bagaimana pakaian kita apakah sudah sesuai sunnah Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Bukankah sangat lucu jika kita ingin mengubah Negara tapi diri kita sendiri tidak berubah? Bukankah sangat menyedihkan jika kita ingin menegakkan syariat dalam pemerintahan sedangkan syariat itu tidak tegak dalam diri kita?

Iya semua harus berawal dari diri kita, kemudian keluarga, lalu masyarakat hingga negara.

Kalaupun kita meninggal dan tidak sempat menyaksikan kejayaan Islam, maka itu tidaklah mengapa asalkan tujuan penciptaan kita tercapai, 


“Dan Tidaklah Aku Menciptakan Jin dan Manusia Kecuali untuk Beribadah Kepada-Ku” (Terjemah Qur’an surah Adz Dzariyat : 56)”
 Oleh ahli tafsir mengatakan bahwa kata “liya’budun” (beribadah) maksudnya adalah “liyuwahhidun” (mengesakan) dengan kata lain beribadah dengan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i