Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Kamis, 19 April 2012

Corat-coret Baju, Budaya Siapa?

 
Pengumuman kelulusan Ujian Nasional belum lagi keluar, bahkan Ujian Nasional SMA baru beberapa jam lalu usai. Namun beberapa siswa-siswi nampak melakukan aksi corat-coret baju. Mereka nampak gembira telah melewati masa ujian terakhir bagi mereka di SMA, mereka seperti tidak menyadari bahwa ketidak lulusan juga mengintai mereka. Tawa ria pada hari akhir ujian mereka bisa jadi berubah menjadi tangis pada saat pengumuman hasil ujian.

Apapun alasan mereka, aksi corat-coret baju bukanlah budaya yang baik. Itu adalah budaya pemborosan. Akal sehat pun tak bisa menerima perilaku ini. Coba Anda hitung kerugian materi dari aksi ini. Anggap siswa SMA/SMK yang ikut UN tahun ini 1.500.000 siswa, kalau 80% dari mereka melakukan aksi ini (1.200.000 siswa) dikalikan dengan harga baju rata-rata dari mereka Rp. 15.000 (anggap demikian kan pakaian bekas) maka total harga baju yang dicorat-coret adalah Rp. 18.000.000.000 (18 Miliar!).
Oh ya, ini belum termasuk harga spidol dan cat semprot. Dan kita pun baru menghitung siswa SMA/SMK, belum siswa SMP dan SD yang juga tidak ketinggalan aksi boros ini.

Alangkah baiknya jika barang seharga itu disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukan berita baru lagi jika ada anak yang putus sekolah atau tidak bisa masuk sekolah hanya karena orang tuanya tidak bisa membeli baju seragam buat anaknya. Padahal baju yang telah dicorat-coret itu pasti suatu saat hanya akan menjadi kain lap, kalau pun ada yang beralasan untuk menjadi kenang-kenangan maka seberapa lama sih ia bisa menyimpannya?

Peristiwa membahagiakan memang patut untuk disyukuri bahkan itu wajib, namun jika keluar dari koridor syariat maka bisa jadi kekufuran bukan kesyukuran.
 “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan. dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS. Al Isro’: 26-27).
Makanya tidak salah kalau kita mengatakan budaya corat-coret baju tersebut adalah budaya setan.

Kegiatan Positif Lebih Baik

Budaya corat-coret baju telah ada pada tahun 80-an. Ia seperti penyakit turun temurun yang menggerogoti alam bawah sadar siswa-siswi hingga saat ini. Jika dibiarkan maka penyakit ini akan tetap ada hingga akhir zaman. Makanya untuk menyembuhkannya perlu ada kerja sama yang serius antara pihak sekolah dan orang tua siswa.  Selain itu penyadaran dini harus dilakukan oleh sekolah terhadap siswa-siswanya. Jangan hanya pengarahan dilakukan ketika mereka menjelang UN, ini sangat terlambat. Pendekatan agama juga sangat efektif, terbukti sebuah SMA Islam Terpadu yang saya kenal di Makassar tak satupun siswa/siswinya melakukan budaya setan ini.

Saya juga sangat salut apa yang dilakukan oleh siswa siswi SMA 3 Yogyakarta tahun lalu (2011). Di saat siswa-siswi sekolah lain merayakan kelulusan dengan corat-coret baju, mereka justru merayakannya dengan membagikan 600 buah nasi kotak kepada para tukang becak, pedagang asongan, serta pedagang kaki lima di sejumlah tempat di Kota Yogyakarta.

Diantara kegiatan yang sangat baik juga adalah dengan melakukan pengumpulan baju seragam siswa yang lulus untuk disumbangkan kepada adik kelas atau siswa di sekolah lain yang membutuhkan. Dan saya kira ini akan menjadi kenangan indah yang lebih patut untuk dikenang.[]

Makassar, 26 Jumadal Ula 1433

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i