Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Senin, 24 Desember 2012

Tauhid Harga Mati

  

Tauhid adalah meng-Esakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ibadah. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling agung. Bahkan tujuan utama diutusnya Rasul-rasul Allah adalah untuk menyampaikan kepada manusia akan ke-Esaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar manusia hanya menyembah kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada ilah melainkan Aku, maka beribadahlah kamu sekalian kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiya’ : 25)
Dalam surah lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), beribadah kepada Allah saja…” (QS. An-Nahl : 36)
Singkatnya tauhid adalah merupakan perintah Allah yang paling agung, karena ia merupakan pondasi tempat dibangunnya seluruh ajaran Islam. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid dan memerintah delegasi yang diutusnya agar memulai dakwah dengan tauhid.
Tauhid adalah kunci untuk masuknya seseorang ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang berjumpa dengan Allah sedangkan ia tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, maka ia masuk surga dan barang siapa yang berjumpa dengan Allah sedangkan ia mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, maka ia masuk neraka.” (HR. Muslim)
Bahaya syirik
Syirik, beribadah kepada selain Allah merupakan larangan Allah yang paling besar. Sehingga kesyirikan adalah hal yang sangat berbahaya. Seseorang terjatuh pada syirik maka dia telah mengabaikan hak Allah yang paling agung yakni tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“…sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13) 
“…barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah (musyrik), maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah di neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Maidah: 72)
Syirik adalah dosa terbesar maka adzab bagi pelaku syirik tentu merupakan adzab yang paling berat, yakni kekal selama-lamanya di dalam neraka. Pelaku syirik yang tidak sempat bertaubat sebelum meninggal tidak akan diampuni dosa-dosa syiriknya. Tidak sebagaimana dosa yang diakibatkan maksiat yang lain, yang kemungkinan diampuni oleh Allah atau ‘dibersihkan’ dulu di neraka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik, bagi siapa yang dikehendakin-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dosa yang paling besar adalah engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah adalah yang telah menciptakanmu.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa mati sedangkan ia beribadah kepada selain Allah, maka ia masuk neraka.” (HR. Bukhari)
Maka sudah sepatutnya hal yang paling kita takuti ada dalam diri kita adalah syirik. Ilmu-ilmu yang paling utama yang kita tuntut adalah ilmu yang mengantarkan kita kepada jalan tauhid dan menghindarkan kita dari lembah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Apa gunanya kita hidup di dunia ini jika di akhirat kelak kita kekal dalam adzab neraka? Umur yang panjang, harta dan keturunan yang banyak, bahkan segala kenikmatan yang kita dapatkan di dunia tidaklah ada artinya dibanding kekekalan siksa di dalam neraka, na’udzu billahi min dzalik.
Wala’ wal bara’ Konsekuensi Tauhid
Wala’ bermakna loyalitas sedangkan bara’ bermakna pengingkaran, berlepas diri. Wala’ kepada Islam dan kaum muslimin dan bara’ kepada segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan kepada Allah merupakan keharusan sebagai konsekuensi daripada tauhid. Sebagai seorang muslim kita mesti tahu kepada siapa kita harus ber-wala’ dan kepada siapa kita harus berlepas diri ber-bara’.
Dalam syarah tsalatsatul ushul, syaikh Utsaimin menjelaskan, “Ber-wala’ dan mencintai orang yang memusuhi Allah adalah tindakan yang menunjukkan lemahnya iman yang terdapat dalam hati seseorang, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya. Sebab tidak masuk akal jika seseorang mencintai sesuatu yang menjadi musuh kekasihnya. Ber-wala’ kepada orang-orang kafir itu bisa berupa menolong dan membantu mereka dalam melaksanakan kekafiran dan kesesatan mereka. Mencintai mereka terjadi dengan melakukan sebab-sebab yang menjadikan mereka cinta. Anda melihat orang tersebut mencari kecintaan mereka dengan semua jalan. Tidak diragukan lagi, tindakan ini menafikan iman atau kesempurnaannya…”
Sebuah contoh yang disebutkan oleh  Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an bagaimana seharusnya kita ber-wala’ dan bara’, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang beriman pada dia; ketika mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kamu dan telah nyata di antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah : 4)
Syaikh Abdullah bin Shaleh al-Fauzan menulis dalam syarah tsalatsatul ushul beliau bahwa di antara indikasi loyalitas yang jelas kepada kaum kafir yakni:
Pertama: Ridha dengan kekafiran mereka serta tidak mengkafirkan mereka atau ragu atas kekafiran mereka.
Kedua: Menyerupai kebiasaan, akhlak dan mengikuti mereka, tidaklah seseorang menyerupai orang kafir melainkan karena ia mengagumi mereka, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Ketiga: Meminta bantuan dan mempercayai mereka serta menjadikan mereka sebagai penolong.
Keempat: Membantu dan mendukung mereka.
Kelima: Turut andil dalam memeriahkan hari-hari besar mereka baik menghadiri dan memberikan ucapan selamat.
Keenam: Memberi nama dengan nama-nama mereka.
Ketujuh: Bepergian ke negeri mereka tanpa keperluan penting.
Kedelapan: Meminta ampun untuk mereka atau memintakan rahmat jika ada di antara mereka yang meninggal.
Kesembilan: Bertoleransi dalam masalah akidah
Kesepuluh: Mengambil hukum dan aturan mereka dalam mengatur negara dan mendidik rakyat”
Wala’ dan bara’ adalah barometer keimanan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam sebuah surah Allah Subahanahu wa Ta’ala menegaskan dengan firman-Nya (yang artinya):
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah Subahanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (QS. Mujadilah: 22)
Wala’ wal Bara’ dan Toleransi
Wala’ wal Bara’ tidaklah meniadakan adanya interaksi sosial dengan pemeluk agama lain. Dalam hal ini Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana saling bertoleransi tanpa harus mengorbankan akidah kita. Ketika umat agama lain merayakan hari raya mereka maka kita cukup dengan membiarkannya selama tidak mengganggu ibadah dan aktifitas kita. Tak perlu ucapan selamat kepada mereka, apalagi hadir dan larut dalam ritual mereka.
Dalam masalah sosial yang tidak ada kaitannya dengan ibadah, maka sebagai seorang muslim kita dianjurkan untuk saling tolong-menolong meski dengan pemeluk agama lain. Misalnya menjenguk teman yang beda agama yang sedang sakit, atau membantu mereka yang tertimpa musibah.
Itulah bentuk pengamalan dari prinsip yang diajarkan Allah dalam firman-Nya (yang artinya):
“bagimu agamamu dan bagi kami agama kami.” (QS. al-Kaafirun: 6)
Di bulan ini, bulan Desember, ada beberapa perayaan agama lain yang akan menguji akidah kita. Sebuah euforia perayaan hari raya agama lain yang kita lihat di media-media, ataupun pernak-pernik mereka di tempat-tempat perbelanjaan dan sebagainya. Tapi alangkah rapuhnya akidah kita jika hanya dengan itu kita menjadi lalai dan larut dalam perayaan agama mereka atau pun mengucapkan selamat kepada mereka.
Di awal artikel ini telah dijelaskan bahwa syirik adalah dosa terbesar. Apakah pantas jika kita mengucapkan selamat atas kedurhakaan mereka kepada Allah? Sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima oleh akal ketika kita memberi selamat kepada orang yang sedang berzina. Nah, tentu saja lebih tidak bisa diterima oleh akal ketika kita mengucapkan selamat kepada orang yang melakukan kesyirikan yang dosanya lebih besar daripada dosa zina!
Penutup
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita petunjuk dan mengistiqomahkan kita di atas jalan kebenaran, jalan tauhid, jalan yang dilalui oleh para rasul dan orang-orang sholeh pendahulu kita.
Semoga Allah Azza wa Jalla menguatkan hati kita dan melindungi hati dan amal-amalan kita dari segala bentuk kesyirikan, baik besar ataupun kecil. Semoga kita kuat dalam memegang prinsip ini sebagaimana Bilal bin Rabah yang disiksa oleh majikannya, Umayyah. Umayyah menyeret Bilal ketika matahari tepat di atas kepala, ia menjemurnya dan menindihkan batu besar. Kemudian dipaksa untuk kembali kepada agama musyrik, tapi Bilal tetap pada pendiriannya dengan teguh berkata, “Ahad, ahad… (Esa, Esa…)”.
Atau sebagaimana sahabiyah Sumayyah, ibu dari Ammar bin Yasir, yang ditusuk oleh Abu Jahal dengan ujung tombak dari arah kemaluannya, namun ia tetap dalam kesabaran, hingga ajal menjemput. Bagi mereka tauhid adalah harga mati! Kesyirikan adalah sesuatu harus tetap diingkari meski nyawa adalah taruhannya.
Wallahu a’lam. []
Makassar, Shafar 1434 H.
Abu Fauzan. 
Dimuat di Buletin al-Balagh edisi 06 1434 H.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i