Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Senin, 31 Maret 2014

Perkataan Yang Hak Untuk Maksud Yang Bathil

     
Salah satu alasan khawarij memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin pada masa itu adalah karena Ali bin Abu Thalib menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam persengketaan beliau dengan Muawiyah, yakni dengan penunjukan dua orang penengah; Amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asyariy.

Kaum khawarij menyalahkan hal tersebut dan berdalil dengan firman Allah (terjemahannya),

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah  …” (Yusuf: 40)

Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka (kaum khawarij).


Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menanggapi pernyataan tersebut, “Ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian...”
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terjemahannya),

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95)

Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah Subhanahu wa Ta’ala  juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman (terjemahannya),

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)

Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka (kaum khawarij itu) mengatakan, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”

--------------------------------------------------
Sebuah pelajaran dari hal ini adalah bahwa semangat tanpa ilmu akan membuat seseorang salah dalam menempatkan dalil. Perkataan yang hak untuk maksud yang bathil.

Betapa kita selalu butuh bimbingan para ulama yang sangat paham akan al-Qur’an dan as-Sunnah.[]


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i