Tulisan ini juga dimuat di wimakassar.org rubrik muhasabah.
Aku mencintai rembulan dengan pendar putihnya, tapi ia tetaplah bulan yang punya sisi gelap, hingga aku membencinya, ah bukan, pada kelam hitamnya.
Dalam penghambaan hanya kepada Allah, selayaknya setiap jenak kehidupan selalu tersandarkan hanya karena-Nya. Pun dalam persoalan hati, lebih spesifik cinta dan benci; semua akan bernilai dan mulia jika ia hadir bersama ketulusan sebab, untuk, dan hanya karena-Nya.
Dengan keilmuan kita akan hak dan batil, salah dan benar –insya Allah- kebencian akan kesalahan dan kecintaan akan kebenaran dengan mudah kita hadirkan hanya karena Rabbul Izzati. Tapi kadang ada penzhaliman ketika kita menerapkannya pada satu sisi saja, ia tidak lagi menempati tempat yang semestinya, ia labil dalam kebingungan, posisinya absurd -tidak jelas-. Ibarat melihat bulan sabit kita kadang terpesona pada cahayanya saja dan mengabaikan sisi hitam yang menutupi purnamanya atau sebaliknya kita hanya sibuk menggerutui noda hitamnya dan lupa bahwa bahwa masih ada sisi putih yang lebih cantik untuk dipandang.
Tak jarang cinta dan benci menjadi buta, ketika ia datang dengan sebab yang tak terduga disertai alasan yang dipaksakan atau kalau perlu dibuat-buat, hingga pertanyaan yang mengikutinya bukan lagi APA tapi SIAPA. Padahal noda hitam pasti tetap ada meski pada purnama yang justru memastikan bahwa ia adalah bulan bukan khayalan.
Proporsional dan objektif; adalah kata kunci sekaligus jawaban untuk masalah di atas.
Proporsional, kata lain dari adil. Dengan Kalam-Nya Allah Subahnahu wa Ta'ala mewanti-wanti kita untuk bersikap adil kepada siapapun hatta itu adalah musuh kita. Dalam soal dua rasa (cinta dan benci) keadilan mesti tetap dikedepankan pada siapapun. Ketika kita mencintai seseorang maka ingatlah pada saat yang sama ada sesuatu yang mungkin kita bisa benci darinya, sebaliknya ketika ada yang mengharuskan kita untuk membencinya maka jangan lupa bahwa alasan kita untuk mencintainya pun juga mungkin lebih banyak.
Begitu juga dengan kadarnya, ketika kesalahannya adalah sebiji maka bencilah ia sekadar sebiji itu jangan kurang apalagi lebih begitupun sebaliknya.
Objektif, sebagaimana adil ia juga berlaku untuk semua dan siapa saja. Saat cinta atau benci, maka seharusnya ia bukan ditujukan pada pelaku tapi pada laku-lakunya, pada sebab kenapa kita harus mencintai atau membencinya. Ketika ada kata “Aku mencintai/membenci fulan” maka hakikat seharusnya adalah “Aku mencintai/membenci perlilaku fulan”.
Tak ada kecintaan mutlak kecuali kepada Allah dan kebaikan yang Dia telah tetapkan dan tak ada kebencian mutlak kecuali kepada setan juga kepada keburukan yang ia tebarkan.
Yah, kita memang harus menjadi raja atas cinta dan benci itu, jangan sampai mereka menguasai diri kita atas dasar nafsu belaka yang akhirnya hanya akan membuat kita buta meski lidah melisankan hanya karena-Nya, sebab setan penuh tipu daya.
Jadi, saat cinta dan benci mesti ada, dan ketika wala’ dan bara’ harus berwajah seharusnya kita tahu hati kita seperti apa…
Makassar, 28 Jumadil Ula 1430 H
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i