Palestina Barometer Umat
Dalam sebuah seminar tentang Palestina, syaikh Dr. Sa’ad Abu Mahfuh mengatakan, “Kondisi al-Aqsha menjadi barometer kesungguhan umat Islam dalam memperjuangkannya.”
Masjid al-Aqsha dalam surah al-Israa ayat pertama, kita dapat lihat dengan jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala begitu memuliakan masjidil al-Aqsha, kiblat pertama kaum muslimin. Masalah Palestina tidak bisa dipandang remeh, sebab ini menyangkut akidah kaum muslimin. Al-Aqsha yang kini dikuasai oleh zionis yahudi adalah harga diri dan kehormatan kaum muslimin yang diinjak-injak.
Namun semua itu adalah cerminan dari kondisi umat Islam, sekarang ini umat islam dalam keadaan lemah dan terpuruk. Tak lain karena telah terjangkiti oleh penyakit wahn. Al-Wahn (cinta dunia dan takut mati), inilah penyakit yang disinyalir oleh Rasulullah yang akan menimpa umatnya dimana umatnya akan diperebutkan oleh umat lain seperti memperebutkan makanan, padahal jumlah kaum muslimin merupakan mayoritas.
Cinta dunia dan takut mati adalah dua penyakit yang akan selalu berkaitan, ketika seseorang cinta dunia maka dipastikan dia juga takut akan mati. Dunia telah menjadi cita-cita utamanya, masalah akhirat itu urusan nanti atau hanya sekedar ilusi dalam benaknya, sebab ia memang tidak menginginkan bertemu dengannya alias takut mati. Otomatis semangat untuk berjuang di jalan Allah baik dengan harta apalagi jiwa juga akan pupus.
Dan inilah yang sekarang mewabah di tengah umat persis sebagaimana yang terjadi pada akhir abad 5 Hijriyah dimana kaum Muslimin kalah dari pasukan salib. Sebelum terjadi invasi pasukan Salib kondisi umat Islam berada dalam kemunduran dan kerusakan yang parah. Para penguasa meninggalkan amanat yang diemban dan gila dengan kemewahan serta kekuasaan, bahkan mereka berlaku dzolim kepada rakyat. Para ulama pun banyak yang menjadi “ulama dunia” dengan mencari muka di depan para penguasa demi sebuah simpati atau jabatan dan bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan saling menjatuhkan antar ulama. Singkatnya, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas (shalafus shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan masyarakat biasa.
Ada 2 hal yang benar-benar orang Yahudi takutkan, Yaitu ketika Semua umat Muslim benar-benar menjadikan Al-Quran sebagai Pedoman dalam semua aspek kehidupan, sehingga ghirah Al-Quran akan terasa pada diri setiap umat Muslim di dunia. Yang kedua berdasarkan pernyataan salah seorang pemimpin yahudi sendiri bahwa mereka baru akan takut kepada umat Islam ketika Jamaah shalat Subuh sama Banyaknya dengan Jamaah pada saat Shalat Jum’at.
Apalah gunanya mayoritas jika perhatiannya terhadap al-Qur’an tidak ada, bahkan beramai-ramai membuat hukum buatan mereka sendiri atau mengadopsi hukum buatan orang kafir? Apa artinya jumlah yang banyak jika mereka lebih doyan menonton bola berjama’ah sampai pagi dibanding shalat berjama’ah di masjid? Jika seruan Allah melalui mu’adzin “hayya ‘ala shalah!” (Mari menunaikan shalat!) saja diabaikan apatah lagi “Hayya’alal jihaad!” (Mari berperang di jalan Allah!)
Membangkitkan Generasi Shalahuddin
Menurut Dr. Adian Husaini dalam artikelnya yang berjudul “Sabar Membebaskan al-Aqsa” bahwa, PR terbesar umat ini adalah mengembalikan akhirat sebagai tujuan tertinggi, meskipun ini tidak mudah karena menyangkut pola pikir dan budaya. Perlu proses yang panjang. Dan inilah langkah awal sebagaimana yang dijelaskan tadi tentang cinta dunia dan takut mati sebagai penyebab lemah dan terpuruknya umat ini.
Menurut beliau, perjuangan membebaskan Palestina bukanlah kali pertama dilakukan umat Islam. Sejarah menunjukkan, perjuangan membebaskan diri dari suatu penindasan seringkali membutuhkan waktu yang panjang. Kita ingat, kemerdekaan Indonesia harus dicapai setelah ratusan tahun harus berjuang melawan penjajah Belanda. Dalam kaitan inilah, kita perlu meningat, bahwa syarat penting untuk meraih kemenangan dalam perjuangan adalah sabar dalam berjuang. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (QS Ali Imran:200).
Dalam sebuah buku yang berjudul “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib” memaparkan bahwa, sekitar 90 tahun setelah kekalahan kaum muslimin dari pasukan salib, tampil Shalahuddin Al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi seoran utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah Shalahuddin seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin “hanya” seorang anak didik Nuruddin Zanki yang sudah menyiapkan mimbar baru untuk Masjidil Aqsha jauh sebelum itu.
Di sisi lain, sejarah tidak mungkin melupakan karya dan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti Al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jilani, Ibnu Qudamah al-Madisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat. Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat berupa hegemoni filsafat, aliran kebatinan, dikotomi fiqih dan tasawuf, mazhabisme dan lain-lainnya, sebelum melahirkan sebuah generasi baru yang mengimplementasikan nilai-nilai nilai-nilai Islam dan mengusung panji kejayaannya saat berhadapan dengan lawan-lawannya.
Pertanyaan kemudian timbul dari Dr. Adian, apakah umat Islam saat ini mempunyai ulama-ulama yang hebat semacam itu? Jika tidak, maka kewajiban utama umat Islam adalah mewujudkannya. Setelah itu, para ulama didukung untuk mendidik satu generasi yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Maidah ayat 55. Yakni, generasi yang dicintai Allah dan mencintai Allah, berkasih sayang terhadap sesama mukmin, dan bersikap tegas terhadap kaum kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap berbagai celaan. Mereka yakin dan kokoh dengan keyakinan dan tujuan perjuangan.
Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Perjuangan Islam membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam pada perang Uhud, gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang. Maka, keliru besar jika ada yang menyangka bahwa jika ada sebagian aktivis dakwah telah menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan, dikatakan, bahwa mereka telah berhasil dalam dakwah.
Keliru juga jika menyangka bahwa pejuang dakwah yang hebat adalah yang rajin mengeluarkan pernyataan tentang perlunya berdiri sebuah negara Islam; sementara pada saat yang sama, dia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk memajukan umat Islam dan melawan kemungkaran yang bercokol di sekitarnya.
Walhasil, perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berutang budi pada para ustadz dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajarkan aqidah Islam, baca tulis al-Quran, atau membendung gerakan-gerakan pemurtadan yang merusak umat Islam. Para pejuang Islam ini mungkin tidak menyadari, bahwa yang mereka kerjakan adalah sebuah langkah besar dalam menjaga aqidah dan eksistensi umat Islam, papar Dosen Pasca Sarjana- Progam Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PSTTI-UI) ini.
Kita semua bisa mengambil peran dalam memperjuangkan kejayaan Islam, memperjuangkan Palestina dengan apa yang kita punya dan potensi kita. Mulailah dari memperbaiki diri kita, keluarga kita dan masyarakat kita. Pelajarilah agama ini dengan baik. Amalkanlah semampu Anda. Insya Allah dengan terbentuknya masyarakat yang Islami maka Rahmat dan pertolongan Allah akan datang.
Istiqomah dalam Perjuangan
Kemenangan adalah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia hanya diberikan kepada yang layak untuk mendapatkannya. Apakah kita akan menikmatinya atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Namun bagaimana peran kita dalam proses merebut kemenangan itu. Kemenangan yang nyata adalah istiqomah dalam memperjuangkan kebenaran, dan disinilah sebenarnya ujiannya.
Keinginan untuk cepat melihat hasil, tergesa-gesa alamat menebar benih kegagalan. Keikhlasan, hanya mengharap ridha Allah itu adalah hal utama yang harus tetap dipertahankan. wallahu a’lam.
Diterbitkan di buletin al-Balagh edisi 69 tahun V Rajab 1431H
Dalam sebuah seminar tentang Palestina, syaikh Dr. Sa’ad Abu Mahfuh mengatakan, “Kondisi al-Aqsha menjadi barometer kesungguhan umat Islam dalam memperjuangkannya.”
Masjid al-Aqsha dalam surah al-Israa ayat pertama, kita dapat lihat dengan jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala begitu memuliakan masjidil al-Aqsha, kiblat pertama kaum muslimin. Masalah Palestina tidak bisa dipandang remeh, sebab ini menyangkut akidah kaum muslimin. Al-Aqsha yang kini dikuasai oleh zionis yahudi adalah harga diri dan kehormatan kaum muslimin yang diinjak-injak.
Namun semua itu adalah cerminan dari kondisi umat Islam, sekarang ini umat islam dalam keadaan lemah dan terpuruk. Tak lain karena telah terjangkiti oleh penyakit wahn. Al-Wahn (cinta dunia dan takut mati), inilah penyakit yang disinyalir oleh Rasulullah yang akan menimpa umatnya dimana umatnya akan diperebutkan oleh umat lain seperti memperebutkan makanan, padahal jumlah kaum muslimin merupakan mayoritas.
Cinta dunia dan takut mati adalah dua penyakit yang akan selalu berkaitan, ketika seseorang cinta dunia maka dipastikan dia juga takut akan mati. Dunia telah menjadi cita-cita utamanya, masalah akhirat itu urusan nanti atau hanya sekedar ilusi dalam benaknya, sebab ia memang tidak menginginkan bertemu dengannya alias takut mati. Otomatis semangat untuk berjuang di jalan Allah baik dengan harta apalagi jiwa juga akan pupus.
Dan inilah yang sekarang mewabah di tengah umat persis sebagaimana yang terjadi pada akhir abad 5 Hijriyah dimana kaum Muslimin kalah dari pasukan salib. Sebelum terjadi invasi pasukan Salib kondisi umat Islam berada dalam kemunduran dan kerusakan yang parah. Para penguasa meninggalkan amanat yang diemban dan gila dengan kemewahan serta kekuasaan, bahkan mereka berlaku dzolim kepada rakyat. Para ulama pun banyak yang menjadi “ulama dunia” dengan mencari muka di depan para penguasa demi sebuah simpati atau jabatan dan bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan saling menjatuhkan antar ulama. Singkatnya, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas (shalafus shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan masyarakat biasa.
Ada 2 hal yang benar-benar orang Yahudi takutkan, Yaitu ketika Semua umat Muslim benar-benar menjadikan Al-Quran sebagai Pedoman dalam semua aspek kehidupan, sehingga ghirah Al-Quran akan terasa pada diri setiap umat Muslim di dunia. Yang kedua berdasarkan pernyataan salah seorang pemimpin yahudi sendiri bahwa mereka baru akan takut kepada umat Islam ketika Jamaah shalat Subuh sama Banyaknya dengan Jamaah pada saat Shalat Jum’at.
Apalah gunanya mayoritas jika perhatiannya terhadap al-Qur’an tidak ada, bahkan beramai-ramai membuat hukum buatan mereka sendiri atau mengadopsi hukum buatan orang kafir? Apa artinya jumlah yang banyak jika mereka lebih doyan menonton bola berjama’ah sampai pagi dibanding shalat berjama’ah di masjid? Jika seruan Allah melalui mu’adzin “hayya ‘ala shalah!” (Mari menunaikan shalat!) saja diabaikan apatah lagi “Hayya’alal jihaad!” (Mari berperang di jalan Allah!)
Membangkitkan Generasi Shalahuddin
Menurut Dr. Adian Husaini dalam artikelnya yang berjudul “Sabar Membebaskan al-Aqsa” bahwa, PR terbesar umat ini adalah mengembalikan akhirat sebagai tujuan tertinggi, meskipun ini tidak mudah karena menyangkut pola pikir dan budaya. Perlu proses yang panjang. Dan inilah langkah awal sebagaimana yang dijelaskan tadi tentang cinta dunia dan takut mati sebagai penyebab lemah dan terpuruknya umat ini.
Menurut beliau, perjuangan membebaskan Palestina bukanlah kali pertama dilakukan umat Islam. Sejarah menunjukkan, perjuangan membebaskan diri dari suatu penindasan seringkali membutuhkan waktu yang panjang. Kita ingat, kemerdekaan Indonesia harus dicapai setelah ratusan tahun harus berjuang melawan penjajah Belanda. Dalam kaitan inilah, kita perlu meningat, bahwa syarat penting untuk meraih kemenangan dalam perjuangan adalah sabar dalam berjuang. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (QS Ali Imran:200).
Dalam sebuah buku yang berjudul “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib” memaparkan bahwa, sekitar 90 tahun setelah kekalahan kaum muslimin dari pasukan salib, tampil Shalahuddin Al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebagai pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi seoran utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah Shalahuddin seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin “hanya” seorang anak didik Nuruddin Zanki yang sudah menyiapkan mimbar baru untuk Masjidil Aqsha jauh sebelum itu.
Di sisi lain, sejarah tidak mungkin melupakan karya dan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti Al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jilani, Ibnu Qudamah al-Madisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat. Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat berupa hegemoni filsafat, aliran kebatinan, dikotomi fiqih dan tasawuf, mazhabisme dan lain-lainnya, sebelum melahirkan sebuah generasi baru yang mengimplementasikan nilai-nilai nilai-nilai Islam dan mengusung panji kejayaannya saat berhadapan dengan lawan-lawannya.
Pertanyaan kemudian timbul dari Dr. Adian, apakah umat Islam saat ini mempunyai ulama-ulama yang hebat semacam itu? Jika tidak, maka kewajiban utama umat Islam adalah mewujudkannya. Setelah itu, para ulama didukung untuk mendidik satu generasi yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Maidah ayat 55. Yakni, generasi yang dicintai Allah dan mencintai Allah, berkasih sayang terhadap sesama mukmin, dan bersikap tegas terhadap kaum kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap berbagai celaan. Mereka yakin dan kokoh dengan keyakinan dan tujuan perjuangan.
Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Perjuangan Islam membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam pada perang Uhud, gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang. Maka, keliru besar jika ada yang menyangka bahwa jika ada sebagian aktivis dakwah telah menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan, dikatakan, bahwa mereka telah berhasil dalam dakwah.
Keliru juga jika menyangka bahwa pejuang dakwah yang hebat adalah yang rajin mengeluarkan pernyataan tentang perlunya berdiri sebuah negara Islam; sementara pada saat yang sama, dia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk memajukan umat Islam dan melawan kemungkaran yang bercokol di sekitarnya.
Walhasil, perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berutang budi pada para ustadz dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajarkan aqidah Islam, baca tulis al-Quran, atau membendung gerakan-gerakan pemurtadan yang merusak umat Islam. Para pejuang Islam ini mungkin tidak menyadari, bahwa yang mereka kerjakan adalah sebuah langkah besar dalam menjaga aqidah dan eksistensi umat Islam, papar Dosen Pasca Sarjana- Progam Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PSTTI-UI) ini.
Kita semua bisa mengambil peran dalam memperjuangkan kejayaan Islam, memperjuangkan Palestina dengan apa yang kita punya dan potensi kita. Mulailah dari memperbaiki diri kita, keluarga kita dan masyarakat kita. Pelajarilah agama ini dengan baik. Amalkanlah semampu Anda. Insya Allah dengan terbentuknya masyarakat yang Islami maka Rahmat dan pertolongan Allah akan datang.
Istiqomah dalam Perjuangan
Kemenangan adalah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia hanya diberikan kepada yang layak untuk mendapatkannya. Apakah kita akan menikmatinya atau tidak itu bukanlah sesuatu yang penting. Namun bagaimana peran kita dalam proses merebut kemenangan itu. Kemenangan yang nyata adalah istiqomah dalam memperjuangkan kebenaran, dan disinilah sebenarnya ujiannya.
Keinginan untuk cepat melihat hasil, tergesa-gesa alamat menebar benih kegagalan. Keikhlasan, hanya mengharap ridha Allah itu adalah hal utama yang harus tetap dipertahankan. wallahu a’lam.
Diterbitkan di buletin al-Balagh edisi 69 tahun V Rajab 1431H