Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Jumat, 24 Juni 2011

Muslim, Nasrani dan Burung Beo

“Kalau begitu ya Alhamdulillah…”, ucapan tersebut meluncur dari pemilik toko yang selama ini saya kenal beragama Nasrani. Saya sempat kaget dengan perkataan tersebut. “Apa arti kata Alhamdulillah, bagi dia? Apakah dia tahu kalau makna kalimat ini begitu agung bagi seorang Muslim, Ini adalah kalimat pujian sebagai tanda syukur kepada sang Esa, Allah Subhanahu wa Ta’ala” pikirku. Beberapa bulan yang lalu anak pemilik toko komputer ini juga saya dengar mengucapkan, “Astaghfirullah…” ketika melihat barang-barang yang menumpuk dan belum diangkat.

Beberapa kalimat yang merupakan dzikir dalam Islam kini mulai menjadi “bumbu” lumrah dalam percakapan sehari-hari, baik yang diucapkan secara sadar ataupun tidak. Mungkin karena kalimat-kalimat tersebut telah menjadi kata serapan ke dalam bahasa Indonesia. Jika kita berjanji maka tak lengkap rasanya jika tanpa mengatakan “Insya Allah…”,. Jika kaget, kita serta merta juga mengucapkan, “Astaghfirullah…” atau “Masya Allah…”. Jika mendapat nikmat ucapan “Alhamdulillah…” menjadi penyempurnanya.


Sebagai seorang muslim kita memang dituntut untuk selalu berdzikir dan mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun, baik berdiri, duduk, dan berbaring. Bahkan orang-orang yang mengingat Allah setiap saat merupakan ciri dari orang-orang yang berakal sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 190-191, artinya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka."

Dzikir yang kita ucapkan seyogyanya berdampak pada makin kuatnya keimanan dan makin baiknya perilaku serta akhlak kita, tapi itu jika maknanya diketahui dan diresapi. Apalah artinya dzikir yang dilafazkan oleh lisan namun tidak sejalan dengan hati?

Saya teringat dengan sebuah kisah yang diceritakan oleh seorang penceramah tarwih beberapa tahun yang lalu. Ia mengisahkan tentang seorang Kyai yang mengasuh sebuah pondok pesantren di Jawa. Kyai tersebut memiliki seekor burung Beo yang sangat ia cintai, mungkin karena burung Beo ini sangat fasih mengucapkan kalimat syahadat. Suatu hari burung Beo tersebut mati diterkam oleh seekor kucing. Sang Kyai pun bersedih, bahkan selama beberapa hari dia mengurung diri dalam kamar, tidak boleh ada suatupun muridnya yang boleh menemuinya, Ia hanya keluar untuk keperluan tertentu saja. Para muridnya sangat heran dengan perubahan pada guru mereka. Apakah hanya gara-gara kematian burung Beo membuat sang guru yang tegar itu menjadi demikian sedihnya?

Selang beberapa hari sang Kyai pun keluar menemui murid-muridnya. Ia kemudian menjelaskan sebab ia mengurung diri dalam kamarnya. Sebab utamanya bukanlah karena kematian si Beo, tapi karena ia mendapat pelajaran berharga dari kematian Beo kesayangannya tersebut. Ketika ia mendapati Beo sedang sekarat ia mencoba mentalqinnya, namun yang keluar dari mulut Beo hanyalah suara aslinya sampai ia meninggal. Ia tak habis pikir burung yang setiap hari berkicau lincah dengan kalimat syahadat ini diakhir hidupnya malah tidak bisa mengucapkan kalimat syahadat. Sang Kyai kemudian berkesimpulan bahwa sang burung Beo ini hanya pintar mengucapkannya tapi tidak mengetahui maknanya. Ia pun takut jika hal itu menimpa dirinya, dan inilah yang membuat beliau sangat bersedih dan mengurung diri dalam kamar untuk merenungkan semua itu.

Terlepas betul tidaknya cerita di atas, tapi ada baiknya kita juga mengoreksi diri kita. Bagaimana dzikir-dzikir yang kita lafadzkan dalam keseharian kita, baik dalam shalat maupun di luar shalat-shalat kita. Apakah kita bisa meresapi maknanya? Apakah kalimat-kalimat tersebut betul-betul masuk di relung hati kita atau hanya sekedar menjadi pembasah bibir dan penghias kata-kata?

Kita harus berbeda dengan orang Nasrani dan burung Beo yang juga fasih mengucapkan kalimat thoyyib tersebut!
Wallahu a’lam.

Makassar, 20 Rajab 1432 H

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i