Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Rabu, 13 Juli 2011

Bagaimana Kalau Bapak Saya Lempar dengan Batu Bata?

Beberapa Jama’ah tampak tersenyum dan tertawa mendengar guyonan seorang penceramah yang membawakan ceramah tarwih di atas mimbar, “…Bagaimana mungkin setan yang diciptakan dari api bisa disiksa dengan api, tidak masuk akal.” Penceramah mengulangi kata-katanya.
 
Tapi tidak semua jama’ah sepakat dan menerima pernyataannya, apalagi ikut tertawa. Tampak dari raut muka mereka ada yang menunjukkan kekurang setujuan. Termasuk seorang ustadz muda yang berada di jejeran depan. Hatinya panas mendengar keyakinannya sebagai orang Islam diobok-obok oleh sang penceramah dengan hanya berdasar pada logika lemah, tanpa dalil apalagi sampai menjadikannya bahan tertawaan. Ini tidak boleh dibiarkan! Ia pun berpikir cara untuk memberikan “pelajaran” kepada penceramah ini. Jama’ah tidak boleh diracuni dengan syubhat murahannya!


Di akhir ceramah, sebagaimana biasanya jama’ah diberikan kesempatan untuk bertanya kepada penceramah. Ini merupakan peluang bagi sang ustadz. Namun ia memberikan dulu kesempatan kepada jama’ah lain untuk bertanya dan menunggu kesempatan terakhir. Saat dibuka lagi kesempatan untuk penanya terakhir sang ustadz pun mengangkat tangannya.
 
Setelah dipersilahkan, beliau kemudian berdiri dan berkata, “…tadi bapak mengatakan bahwa bagaimana mungkin setan yang diciptakan dari api bisa disiksa dengan api? Menurut logika bapak itu sangat tidak masuk akal. Baiklah saya akan memberikan perumpamaan. Tentu bapak dan jama’ah sekalian sepakat bahwa kita semua sebagai anak cucu adam diciptakan oleh Allah dari tanah.” Jama’ah mengangguk.
 
 
“Dan kita pun tahu kalau batu bata itu terbuat dari tanah, bukan begitu?” jama’ah kembali mengangguk.
 
“Jika saya mengambil batu bata lalu melemparkan kepada Bapak ini kira-kira sakit tidak? Jika menggunakan logika Bapak tadi seharusnya tidak sakit, karena batu bata dan Bapak ini sama-sama terbuat dari tanah.”
 
Sang ustadz kemudian pergi setelah sebelumnya mengucapkan salam. Beliau meninggalkan masjid di mana selama ini beliau menjadi imam di masjid tersebut.
 
Meski kemudian penceramah yang punya sederet titel itu masih berceloteh dengan marah untuk membela diri, tapi ibarat petinju dia sudah KO telak. Serangan-serangan balik yang ia lancarkan sudah tidak ada artinya.
 
---------------------------

Kisah diatas saya ceritakan bebas menurut apa yang telah saya dengar dari ustadz Bahrun Nida, Lc. hafidzahullah. Beliau mengalami kejadian tersebut sekitar 10 tahun yang lalu.[af]

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i