Kumpulan catatan Zainal Lamu, socialpreneur yang masih belajar.

Rabu, 02 Mei 2012

Muhammadiyah dan Wahhabiyah


Dakwah Tauhid
Di kampung saya, orang-orang yang tidak mau ikut dzikir berjamaah, barzanji, maulid atau perayaan-perayaan lainnya dikatakan sebagai “Muhammadiyah”. Sejak kecil, gelaran itu sudah sering saya dengar, namun saat itu saya tidak mengerti apa arti daripada gelaran itu. Jika kita bertanya kepada orang tua, maka yang dijawab, Muhammadiyah adalah orang-orang yang tidak mau barzanji, maulid  dan lainnya sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas. Orang-orang yang ‘dianugerahi’ gelar tersebut dianggap menyimpang karena menyelisihi tradisi kebanyakan orang di kampung.

Waktu saya masih kuliah semester pertama di salah satu Perguruan Tinggi negeri di Makassar, saya ikut kost bersama kakak. Dia kuliah di Perguruan Tinggi Swasta yang dikelola oleh Muhammadiyah. Pada saat kakak akan mendaftar di universitas tersebut, orang-orang kampung berpesan, “Tidak apa-apa, yang penting tidak ikut ajarannya.”
Kakak saya masuk ke universitas itu karena terpaksa setelah gagal di UMPTN, dan karena hanya ini universitas swasta yang bisa disanggupi oleh keuangan orang tua kami.

Salah satu mata kuliah kakak saya adalah ke-Muhammadiyah-an. Ada sebuah buku yang diwajibkan dibeli oleh dosen mata kuliahnya, berisi tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah, visi dan misinya termasuk apa yang mendasari organisasi Muhammadiyah berdiri. Judul dan penulisnya saya tidak ingat secara pasti –jika saya sudah temukan bukunya insya Allah saya update di sini.

Saya sempat membaca sebagian dari buku tersebut. Di dalam buku itu saya sedikit mengenal Muhammadiyah. Saya akhirnya tahu bahwa arti kata “Muhammadiyah” adalah Pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya pun mengenal Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan perjuangannya dalam memberantas TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafa/Khurafat) sekembalinya dari Tanah Suci. Saya baru mengerti, inilah yang menyebabkan orang-orang “Muhammadiyah” tidak mau ikut dalam tradisi-tradisi dan kepercayaan orang-orang di kampung saya. Meski belakangan saya ketahui bahwa orang-orang yang dicap sebagai Muhammadiyah di kampung saya sama sekali tidak ada kaitannya dengan organisasi Muhammadiyah, pemahaman mereka lahir dari kesadaran mereka setelah belajar agama.

Tidak ada yang salah dengan ajaran Muhammadiyah, pikirku saat itu. Justru orang-orang di kampung saya itulah yang salah dengan mempertahankan bid’ah, kepercayaan tahayyul dan khurafat turun temurun mereka. Jika saja mereka mengerti makna dari “Muhammadiyah” maka mungkin mereka akan memberi gelaran lain bagi orang-orang yang tidak mau ikut barzanji, maulid dan semacamnya.

Di dalam buku tersebut saya juga mengenal sosok Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama dari timur tengah tepatnya di Saudi Arabia yang berjuang untuk menegakkan tauhid di negeri tersebut. Pada zaman tersebut penyembahan terhadap kuburan-kuburan merebak. Kuburan dimegah-megahkan, berdo’a kepada orang yang dianggap shalih yang telah meninggal adalah pemandangan yang lumrah. Bahkan kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak luput dari praktek kesyirikan ini. Usaha dakwah tauhid yang dilakukan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bukan tanpa rintangan, beliau sering mengalami pengusiran. Namun berkat pertolongan Allah Azza wa Jalla, usaha tersebut sedikit demi sedikit membuahkan hasil dan bisa kita lihat hingga sekarang.

Itu sudah berlangsung lebih dari 2 abad yang lalu, namun para pembenci dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab masih ada hingga sampai saat ini. Mulut mereka sangat kental dengan ucapan “wahhabi atau wahhabiyah”, gelar yang mereka berikan kepada orang-orang yang dianggap pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Gelaran tersebut sebagai celaan kepada dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan orang-orang yang melanjutkan dakwah beliau rahimahullah. Bahkan label wahhabi kerap diimbuhi dengan kata-kata yang kotor, seperti “Wahhabi anjing...!” dan kalimat hinaan lainnya.

Dalam Kitab Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah [2]Juz 2, hal 174 diterangkan:
“Wahabiyah adalah sebuah lafaz yang dilontarkan oleh musuh-musuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab disebabkan dakwah beliau di dalam memurnikan tauhid, membasmi syirik dan membendung seluruh tata cara ibadah yang tidak dicontohkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tujuan mereka dalam menggunakan lafaz ini adalah untuk menjauhkan manusia dari dakwah beliau dan menghalangi mereka agar tidak mau mendengarkan perkataan beliau....”

Agar tidak terjatuh sebagaimana orang kampung yang telah saya ceritakan di atas maka ada baiknya kita baca apa yang telah ditulis oleh ustadz Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag, yang saya kutip dari salah satu rangkaian tulisan beliau “Dialog Ulama Wahhabi VS Anak Bau Kencur?!! (Bag. 1)
  1. Bukankah kata wahhabi itu nisbat kepada Al-Wahhab (Allah Yang Maha memberi, menganugerahi? seperti rahmani nisbat kepada Al-Rahman, Rabbani nisbat kepadaal-Rabb, ilahi nisbat kepada al-Ilah? Bolehkah kata rahmani, rabbani, ilahi dan wahhabi untuk gelar cacian dan celaan, atau untuk menjadi julukan bagi kelompok sesat? Kalau tidak boleh, kenapa diteruskan, diwariskan dan dilestarikan?!
  2. Kalau madzhab yang dinisbatkan kepada nama para imam saja (seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dll) mendapatkan tempat dan terpuji, lalu madzhab yang dinisbatkan kepada Al-Wahhab (wahhabi) atau nisbat kepada Nabi Muhammad (muhammadi) ditolak dan dicela? Jika nama imam digunakan untuk makna positif, lalu kenapa nama Allah atau Muhammad digunakan untuk makna negatif? Apakah kita umat Islam ridha terhadap istilah yang rancu ini?
  3. Jika Anda inshaf (adil), lebih bagus mana nisbat kepada Allah: ilahi, rahmani, rabbani, wahhabi ataukah nisbat kepada kain wol (shuf), yaitu shufi?
  4. Jika yang Anda anggap sesat itu Muhammad Putra Syaikh Abdul Wahhab, lalu kenapa Allah (al-Wahhab) yang dicela? Bukankah seharusnya kelompoknya disebut muhammadi atau muhammadiyyah? Kenapa itu tidak dilakukan?
  5. Jika yang salah itu anaknya yang bernama Muhammad, lalu kenapa hujatan itu menggunakan nama bapaknya yang bernama Abdul Wahhab? Sementara bapaknya tidak ikut-ikutan, bahkan menurut Syaikh Ahmad Zaini Dahlan tadi ayahnya itu adalah seorang ahli ilmu yang juga memvonis sesat putranya? Kenapa justru nama bapaknya dijadikan simbol kesesatan itu?!
  6. Jadi, istilah wahhabi kalau digunakan untuk menghujat syaikh Muhammad maka larinya justru kepada Allah dan kepada ayahnya, sementara beliau selamat dari celaan itu. Maka apakah kalian mencela Allah al-Wahhab atau ayah syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab?
  7. Kalau kenyataannya rancu seperti ini, lalu siapa yang pertama kali membuat istilah celaan itu? Apakah ahli ilmu ahlussunnah? Ataukah musuh sunnah? Ataukah orang jahil? Wallahu a’lam.
  8. Maksud saya kalau mau mencela ajaran Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab jangan menggunakan wahhabi, tapi gunakanlah istilah lain, agar kita tidak mewarisi kebodohan.
  9. Tetapi kalau kata wahhabi digunakan untuk makna positif, untuk menyebut pengikut sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberantas bid’ah maka aku katakan seperti yang diucapkan Mulla Imran seorang penyair syi’ah yang sudah taubat kepada sunnah:

 إِنْ كاَنَ تَابِعُ أَحْمَدَ مُتَوَهِّبًا****فَأَنَا الْمُقِرُّ بِأَنَّنِيْ وَهَّابِي
“Jika pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut wahhabi, maka aku akui bahwa aku adalah wahhabi.”
Ini seperti ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang seumur-umur tidak ada kaitannya dengan rafidhah majusiyyah kok dituduh rafidhi –oleh Khawarij, menurut Imam Baihaqi-  maka beliau berkata:
“Jika rafdh (rifdh) itu adalah cinta keluarga Muhammad, maka silakan jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalahh rafidhi.”
Juga sama dengan ibn Taimiyyah yang dituduh nashibi (karena mencintai sahabat Nabi), beliau membantah mereka:
إن كان نصباً حب صحب محمدٍ * * * فاليشهد الثقلان أني ناصبي 
“Jika nashb adalah cinta para sahabat Nabi Muhammad maka silakan disaksikan oleh jin dan manusia bahwa aku adalah nashibi.”
Jika kita orang yang beriman dan berakal, maka kita tidak akan menggunakan kata “Wahhabi” untuk mencela, apalagi mengikutkannya dengan kata-kata yang kotor. Apakah pantas nama Allah diikutkan dengan kata, “anjing”?

Gelaran “Muhammadiyah” oleh orang di kampung saya, ataupun “Wahhabi” yang kembali marak akhir-akhir ini hanyalah timbul dari kebodohan. Kebodohan itu gelap dan kadang membabi buta, sehingga ia tak jarang kelihatan lucu.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata: "Mungkin sebagian orang-orang bodoh akan menuduh Imam al-Suyuti dengan Wahabi sebagaimana adat mereka. Padahal jarak wafat antara keduanya kurang lebih 300 tahun". (Imam al-Suyuti wafat tahun 911 H sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat tahun 1206 H).

Di salah satu sekolah di Damaskus (Syria) ketika seorang guru sejarah beragama Nashara (Kristen) menceritakan tentang sejarah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya dalam memerangi syirik, khurafat dan bid’ah. Sehingga seakan-akan guru Nashara itu memuji dan kagum kepadanya. Maka berkatalah salah seorang muridnya, “Wah guru kita menjadi Wahhabi!”.

Demikianlah kebencian mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan orang-orang yang mengikuti dakwahnya, bahkan kepada orang Nashrani pun -yang nyata-nyata bukan Muslimin- mereka tuduh “Wahabi”.

Wallahu Musta’an

Makassar, 9 Jumadal Akhirah 1433

8 komentar:

  1. salam dari blog tetangga mampir dsni http://muhakbarilyas.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Saya juga pengikut muhammadiyah,di sumatra barat mayoritas muhammadiyah,hampir tidak ada jema'ah NU.

    menurut pengamatan saya. wahabi adalah induk dari faham tauhid murni,namun wahabi sangat radikal dan ekstrim dan tidak pandang buluh serta berani mati dan nekat untuk memberantas penyakit umat yaitu TBC dan anti demokrasi serta kalo jema'ahnya tidak paham akan cenderng mengarakan pada terorisme,namun lagi lagi ini bukan karena wahabi ajaran teroris,namun ini hanya masalah individu itu sendiri. Sedang muhamadiyah adalah ajaran yang terinfluence ajaran abdul wahab yang tidak mencampurkan tradisi dengan budaya berhalanisme,jadi murni ajaran TAUHID,namun muhammadiyah lebih toleran dan tidak radikal. Sedang ajaran NU adalah ajaran yang suka ber WASILAH yang mencampur aduk ajaran hindu budha jawa dengan islam,yang akhirnya pengikutnya tergelincir ke lembah kesyirikan, nah... NU ini banyak mencetak kader kader sekuler yang terlalu toleransi berlebihan yang pada akhirnya akan menghapuskan ajaran islam yang murni, seperti kata guru mereka ''TUHAN TIDAK PERLU DIBELA''.dan NU ini punya nahdiyin yang super fanatik dan selalu merasa paling benar. Kalo memang mereka paling benar,kenapa islam masih berpecah belah? Bukankah begitu...trims.

    BalasHapus
  3. Jgn saling menyalahkn pendiri NU n MUHAMMADIYAH itu 1 guru,kita tinggal pilih mo ajaran yg mana law merasa benar sendiri brarti ikut ajaran'a ibliz yg d usir dr surga.

    BalasHapus
  4. Jangan mudah menganggap kelompok lain sesat.... apakah kita akan mengikuti kelompok Khawarij yang menganggap selain kelompoknya adalah sesat????? yang menganggap Sayyidina Ali bin Abi Thalib sesat????? Padahal Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Baabul ilmi (pintunya ilmu)..... Marilah kita berpikir dengan penuh kesadaran... Seberapa jauh kita mendalami Al Qur'an..... sehingga berani menganggap sesat kelompok lain...

    BalasHapus
  5. @abunadina: Komentar anda ndak nyambung, siapa pula yg menganggap Ali bin Abu Thalib sesat, wallahu musta'an.

    BalasHapus
  6. Mungkin Wahabi tidak se ekstrim itu... bahkan wahabi mengajurkan untuk taat kepada pimpinan, baik piimpinan yang Islam ataupun bukan. dan wahabi tidak mengajarkan untuk berbuat teroris dan siapa yang mati karena teroris dia telah salah dan neraka adalah tempatnya. wahabi mengajarkan Untuk selalu berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. diantara Blog yang dianggap wahabi diantaranya yuvid.com, http://aslibumiayu.wordpress.com, firanda.com. semoga kita selalu terhindar dari fitnah dan bukan golongan orang yang suka memfitnah. Aamiin

    BalasHapus

Silahkan mengisi komentar dengan tetap mengedepankan adab berkomunikasi secara syar'i