Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah kewajiban, hal mutlak yang harus ada pada diri setiap muslim, konsekuensi kalimat kedua yang memasukkan kita ke dalam golongan kaum muslimin, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manifestasi dari kecintaan kepada yang telah mengutus beliau, Allah Jalla wa A’la. Sebagai wujud kongkrit kuatnya keimanan seseorang kepada Allah, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memang benar-benar telah mengutus manusia terbaik untuk menyebarkan risalah yang suci dan agung. Membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada makhuk menuju penghambaan hanya kepada Allah semata (minal ibadatil ibad, ila ibadatil rabbil ibad).
Pun sebaliknya, kebencian kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tabuhan genderang perang kepada Allah, dan kaum muslimin yang mencintai Beliau.
Dari dulu sampai sekarang usaha-usaha untuk merendahkan kehormatan Rasulullah akan senantiasa ada oleh orang-orang yang tidak senang dengan syariat yang Beliau bawa. Diabadikan dalam Al Qur’an oleh Allah,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Penghinaan kepada Rasulullah dalam bentuk film kartun yang menggambarkan perilaku yang tidak selayaknya dinisbatkan kepada Rasulullah adalah bukti nyata akan kebencian mereka sejak dari pendahulu-pendahulu mereka.
Sebagaimana kewajiban untuk mencintai segala pribadi dan sunnah Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kebencian terhadap segala bentuk penghinaan dan pelecehan kepada beliau adalah juga harusnya ada dihati-hati kaum yang masih merasa sebagai pengikut Beliau. Sebab penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak lain dan tak bukan merupakan penghinaan kepada Allah, kepada syiar-syiar Allah,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).
Dipertanyakan keimanan seorang muslim jika tidak ada sedikitpun kebencian dan kemarahan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dihinakan dan dilecehkan. Kita mungkin saja berkilah, “Itu tergantung anggapan kita, apakah kita menganggap bahwa gambar itu Muhammad atau bukan.” (tanggapan seseorang yang penulis pernah baca dalam suatu artikel). Tapi bagaimana jika pembuat kartun itu memaksakan penisbatan bahwa itu tokoh dalam kartun keji itu adalah ayah, ibu atau bahkan kita sendiri? Tidak wajar kalau Anda tidak marah, itu fitrah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak kita bela melebihi Ayah, Ibu atau bahkan diri kita sendiri. Sebab karena jasa Beliaulah yang memberikan petunjuk kepada kita jalan menuju Surga dengan selamat.
Walaupun sebenarnya tanpa pembelaan kita, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap dalam kemuliaan kehormatannya yang mulia disisi Allah, tak berkurang sedikitpun. Tapi keimanan perlu pembuktian bukan sekedar penghias bibir saja, peristiwa-peristiwa seperti ini adalah momen menguji wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri) kita, apakah kita berada dalam barisan kaum muslimin atau sebaliknya.
Apakah kita sebagaimana kaum munafik yang adem ayem saja bahkan senang dengan segala bentuk penghinaan kepada syiar dan syari’at Allah, atau kita seperti Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata kepada Rasulullah ketika terjadi pengkhianatan dari kalangan sahabat sendiri, “Ya Rasulullah ijinkan saya untuk menebas batang lehernya…”
Wallahu Ta’ala A’lam
Pun sebaliknya, kebencian kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tabuhan genderang perang kepada Allah, dan kaum muslimin yang mencintai Beliau.
Dari dulu sampai sekarang usaha-usaha untuk merendahkan kehormatan Rasulullah akan senantiasa ada oleh orang-orang yang tidak senang dengan syariat yang Beliau bawa. Diabadikan dalam Al Qur’an oleh Allah,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Penghinaan kepada Rasulullah dalam bentuk film kartun yang menggambarkan perilaku yang tidak selayaknya dinisbatkan kepada Rasulullah adalah bukti nyata akan kebencian mereka sejak dari pendahulu-pendahulu mereka.
Sebagaimana kewajiban untuk mencintai segala pribadi dan sunnah Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kebencian terhadap segala bentuk penghinaan dan pelecehan kepada beliau adalah juga harusnya ada dihati-hati kaum yang masih merasa sebagai pengikut Beliau. Sebab penghinaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak lain dan tak bukan merupakan penghinaan kepada Allah, kepada syiar-syiar Allah,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).
Dipertanyakan keimanan seorang muslim jika tidak ada sedikitpun kebencian dan kemarahan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dihinakan dan dilecehkan. Kita mungkin saja berkilah, “Itu tergantung anggapan kita, apakah kita menganggap bahwa gambar itu Muhammad atau bukan.” (tanggapan seseorang yang penulis pernah baca dalam suatu artikel). Tapi bagaimana jika pembuat kartun itu memaksakan penisbatan bahwa itu tokoh dalam kartun keji itu adalah ayah, ibu atau bahkan kita sendiri? Tidak wajar kalau Anda tidak marah, itu fitrah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak kita bela melebihi Ayah, Ibu atau bahkan diri kita sendiri. Sebab karena jasa Beliaulah yang memberikan petunjuk kepada kita jalan menuju Surga dengan selamat.
Walaupun sebenarnya tanpa pembelaan kita, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap dalam kemuliaan kehormatannya yang mulia disisi Allah, tak berkurang sedikitpun. Tapi keimanan perlu pembuktian bukan sekedar penghias bibir saja, peristiwa-peristiwa seperti ini adalah momen menguji wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri) kita, apakah kita berada dalam barisan kaum muslimin atau sebaliknya.
Apakah kita sebagaimana kaum munafik yang adem ayem saja bahkan senang dengan segala bentuk penghinaan kepada syiar dan syari’at Allah, atau kita seperti Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata kepada Rasulullah ketika terjadi pengkhianatan dari kalangan sahabat sendiri, “Ya Rasulullah ijinkan saya untuk menebas batang lehernya…”
Wallahu Ta’ala A’lam