Historia Vitae Magistra, kalimat yang hingga saat ini masih saya ingat dari pelajaran sejarah kelas 1 SMU (sekarang SMA). Meski sudah lupa dari bahasa apa tapi maknanya kira-kira begini; sejarah adalah guru bagi kehidupan. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang telah lampau bahkan beberapa detik yang lalu. Dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak menyebutkan kisah-kisah orang terdahulu sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahnya. Bahkan 1/3 isi dari al-Qur’an adalah kisah-kisah yang tentu saja bebas dari dusta, kebohongan karena goresan-goresan tangan manusia yang jahil.
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". (QS. Yusuf: 111)
Saya telah banyak membaca kisah orang, bangsa dan peradaban. Bagi saya semua bermanfaat tapi tidak ada yang membuat saya kagum selain kisah-kisah Islam, pada awal datangnya, perjuangan Rasulullah serta sahabat, dilanjutkan dengan masa tabi’in, selanjutnya atba’ut tabi’in. Baik penilaian secara umum maupun perorangan bagi saya semua kata yang melukiskannya dengan proporsional adalah mutiara, semua istimewa, semua sempurna, dan semua adalah guru.
Untuk menjadi mujahid sejati maka kisah mereka tak berbilang, Anda tak perlu kisah bohongan Rambo yang bisa melawan tentara Vietnam seorang diri. Bukalah lembaran sejarah Bara’ bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu si ‘kurus’ pemburu syahid yang berhasil membunuh 100 musuh dalam sekali perang tanding satu lawan satu. Tidakkah Anda tergetar dengan seruannya menyemangati tentara kaum muslimin ketika terdesak, “Wahai penduduk Madinah, hari ini Madinah tidak lagi milik kalian. Tapi yang ada hanya Allah dan surga.”.
Ingin menjadi menjadi ibu atau istri yang baik? Ratusan teladan ummahat lebih bermanfaat untuk Anda simak daripada cerita karangan di novel, cerpen atau sinetron yang dari dulu hanya berputar pada tema yang sama. Lihatlah Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dalam menjaga kesucian dan kehormatan dirinya meski pada orang yang telah meninggal, saat masuk kamar tempat Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan beliau tidak menjaga hijabnya, tapi itu tidak ia lakukan setelah Umar bin Khattab juga dikuburkan di dekat makam Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Atau simaklah perkataan Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dalam mendidik dan mengajarkan kepada anaknya tentang arti sebuah kepahlawanan "Terserah engkau, ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang lebih tahu tentang dirimu. Bila engkau yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu seperti para prajuritmu yang telah gugur. Tapi bila engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau seorang laki-laki yang pengecut. Berarti engkau mencelakakan diri sendiri, dan menjual murah harga sebuah kepahlawanan."
Ingin menjadi pemimpin yang baik dan disegani? Belajar dari pemimpin-pemimpin sukses dunia kontemporer ada baiknya, tapi tidak ada di antara mereka yang menyamai kisah Umar bin Abdul Aziz yang atas izin Allah seluruh wilayah dalam kepemimpinannya dalam keadaan sejahtera sampai-sampai tidak ada orang yang mau menerima zakat sehingga muzakki (pemberi zakat) pun bingung dimana ia berikan zakatnya. Kematian beliau ditandai oleh penggembala dengan dimangsanya gembalaannya oleh serigala yang biasanya rukun bahkan minum bersama hewan gembalaannya. Adakah pemimpin sekarang ini seperti beliau yang tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga meski hanya minyak lampu tempel dalam beberapa menit saja? Apalagi untuk korupsi. Pantas saja puncak kegemilangan Islam Allah berikan pada kekhalifaannya.
Bagi pemuda, seharusnya cemburu dengan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu yang diangkat oleh Rasulullah menjadi panglima perang dalam umur 17 tahun membawahi pasukan yang juga terdiri dari sahabat senior semisal Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lainnya. Atau kisah Abdullah bin Abbas yang ahli tafsir pada umur masih belia dan masih banyak lagi kisah pemuda-pemuda hebat lainnya yang menelaahnya jauh lebih bermanfaat daripada membaca komik atu novel rekaan semata.
Singkatnya mereka semua adalah teladan dan guru kehidupan, mengidolakannya bukanlah kemunduran zaman. Zaman hanyalah hitungan waktu yang tidak bisa mengubah subtansi dari suatu kehidupan di era manapun ia terjadi. Justru merekalah tokoh-tokoh yang dirindukan oleh tiap orang di setiap zaman meski kebanyakan manusia mencarinya dengan cara yang salah.
Kisah-kisah mereka telah dikaburkan dengan hiburan-hiburan melenakan. Tergantikan dengan hayalan-hayalan pengarang yang dituang dalam skenario sinetron kemudian dilakonkan oleh manusia yang bernama selebritis. Meski status mereka tidak pernah bergeser dari istilah ‘penghibur’. Tapi merekalah yang memenuhi benak-benak sebagian besar masyarakat kita sekarang ini. Betapa banyak pemuda-pemudi yang kemudian tergiur untuk mengikuti jejak ‘kesuksesan’ mereka. Parahnya standar kebenaran seolah-olah ada pada tangan orang-orang yang biasanya hanya mengandalkan tampang tersebut. Meski kehidupan realitas para sebagian selebritis sering diliputi dengan berita yang tidak beres, anehnya itupun menjadi tontonan yang menarik sampai pada urusan nomor sepatu yang cocok buat mereka sangat hangat untuk didiskusikan dan dibuat acara khusus untuk itu.
Kampanye akhir-akhir ini membuat lapangan kerja baru buat selebritis ini, dengan alasan menarik massa meski dengan biaya berjuta-juta kampanye tidak lengkap tanpa kehadiran mereka. Sedihnya, partai-partai yang mengatasnamakan Islampun menggunakan trik politik ini. Wallahu musta’an. Saya jadi teringat dengan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang juga nasihat Aisyah Radhiyallahu ‘Anha melalui surat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, “Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan (sesuatu yang menyebabkan) kemarahan manusia, maka Allah akan melindunginya dari kejahatan manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan (sesuatu yang menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia”
Tujuan yang baik tidaklah bisa menghalalkan semua cara, mestilah ditempuh dengan cara yang baik pula.
Imam Malik Rahimahullah pernah berkata bahwa, tidak akan pernah jaya umat ini –kaum muslimin- melainkan apa yang telah membuat jaya dahulu. Hadits dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam “Apabila kalian telah terlibat jual beli ‘inah (riba), kalian telah mengambil ekor-ekor sapi, merasa senang dengan pertanian dan kalian tinggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan itu hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)
Sejak dahulu, tidak ada bangsa yang bisa dijayakan dengan mengandalkan selebritis, bukalah lipatan sejarah adakah yang mereka punya andil untuk itu. Bahkan malah sebaliknya kebanyakan mereka dijadikan alat oleh musuh-musuh suatu negara untuk melenakan anak-anak bangsa tersebut dalam buaian hedonisme, biusan paham materialistik sehingga lahir generasi-generasi pengecut, kehilangan jati diri dan pegangan yang dengan mudahnya dipermainkan, menjual harga diri dan bangsa dengan setumpuk uang dan untuk selanjutnya bangsa tersebut tinggal menghitung waktu kehancurannya.
Prestasi apa yang dipersembahkan oleh para penjual kecantikan/ketampanan dan kemerduan suara untuk bangsa ini? Apakah prestasi itu membuat kita semakin maju dan terhormat di mata masyarakat dunia yang dengannya kita semakin disegani? Atau malah kita sudah dianggap tidak lebih sebagai bangsa penghibur, tidak diperhitungkan oleh mereka kecuali applause sebagaimana yang dilakukannya pada tukang sirkus.
Agama Islam tidaklah anti dengan hiburan, tapi semua mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh manusia dalam menghamba kepada-Nya. Selama tidak melanggar syari’at hiburan boleh dilakukan dengan seperlunya, tidak melenakan kita dari mengingat-Nya. Hiburan seharusnya bukanlah menjadi tujuan pokok apalagi menjadi arus utama (mainstream) dalam masyarakat sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini khususnya di Indonesia. Wallahu Musta’an.
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". (QS. Yusuf: 111)
Saya telah banyak membaca kisah orang, bangsa dan peradaban. Bagi saya semua bermanfaat tapi tidak ada yang membuat saya kagum selain kisah-kisah Islam, pada awal datangnya, perjuangan Rasulullah serta sahabat, dilanjutkan dengan masa tabi’in, selanjutnya atba’ut tabi’in. Baik penilaian secara umum maupun perorangan bagi saya semua kata yang melukiskannya dengan proporsional adalah mutiara, semua istimewa, semua sempurna, dan semua adalah guru.
Untuk menjadi mujahid sejati maka kisah mereka tak berbilang, Anda tak perlu kisah bohongan Rambo yang bisa melawan tentara Vietnam seorang diri. Bukalah lembaran sejarah Bara’ bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu si ‘kurus’ pemburu syahid yang berhasil membunuh 100 musuh dalam sekali perang tanding satu lawan satu. Tidakkah Anda tergetar dengan seruannya menyemangati tentara kaum muslimin ketika terdesak, “Wahai penduduk Madinah, hari ini Madinah tidak lagi milik kalian. Tapi yang ada hanya Allah dan surga.”.
Ingin menjadi menjadi ibu atau istri yang baik? Ratusan teladan ummahat lebih bermanfaat untuk Anda simak daripada cerita karangan di novel, cerpen atau sinetron yang dari dulu hanya berputar pada tema yang sama. Lihatlah Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dalam menjaga kesucian dan kehormatan dirinya meski pada orang yang telah meninggal, saat masuk kamar tempat Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan beliau tidak menjaga hijabnya, tapi itu tidak ia lakukan setelah Umar bin Khattab juga dikuburkan di dekat makam Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Atau simaklah perkataan Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dalam mendidik dan mengajarkan kepada anaknya tentang arti sebuah kepahlawanan "Terserah engkau, ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang lebih tahu tentang dirimu. Bila engkau yakin dalam kebenaran, maka teguhkan hatimu seperti para prajuritmu yang telah gugur. Tapi bila engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau seorang laki-laki yang pengecut. Berarti engkau mencelakakan diri sendiri, dan menjual murah harga sebuah kepahlawanan."
Ingin menjadi pemimpin yang baik dan disegani? Belajar dari pemimpin-pemimpin sukses dunia kontemporer ada baiknya, tapi tidak ada di antara mereka yang menyamai kisah Umar bin Abdul Aziz yang atas izin Allah seluruh wilayah dalam kepemimpinannya dalam keadaan sejahtera sampai-sampai tidak ada orang yang mau menerima zakat sehingga muzakki (pemberi zakat) pun bingung dimana ia berikan zakatnya. Kematian beliau ditandai oleh penggembala dengan dimangsanya gembalaannya oleh serigala yang biasanya rukun bahkan minum bersama hewan gembalaannya. Adakah pemimpin sekarang ini seperti beliau yang tidak ingin menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga meski hanya minyak lampu tempel dalam beberapa menit saja? Apalagi untuk korupsi. Pantas saja puncak kegemilangan Islam Allah berikan pada kekhalifaannya.
Bagi pemuda, seharusnya cemburu dengan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu yang diangkat oleh Rasulullah menjadi panglima perang dalam umur 17 tahun membawahi pasukan yang juga terdiri dari sahabat senior semisal Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lainnya. Atau kisah Abdullah bin Abbas yang ahli tafsir pada umur masih belia dan masih banyak lagi kisah pemuda-pemuda hebat lainnya yang menelaahnya jauh lebih bermanfaat daripada membaca komik atu novel rekaan semata.
Singkatnya mereka semua adalah teladan dan guru kehidupan, mengidolakannya bukanlah kemunduran zaman. Zaman hanyalah hitungan waktu yang tidak bisa mengubah subtansi dari suatu kehidupan di era manapun ia terjadi. Justru merekalah tokoh-tokoh yang dirindukan oleh tiap orang di setiap zaman meski kebanyakan manusia mencarinya dengan cara yang salah.
Kisah-kisah mereka telah dikaburkan dengan hiburan-hiburan melenakan. Tergantikan dengan hayalan-hayalan pengarang yang dituang dalam skenario sinetron kemudian dilakonkan oleh manusia yang bernama selebritis. Meski status mereka tidak pernah bergeser dari istilah ‘penghibur’. Tapi merekalah yang memenuhi benak-benak sebagian besar masyarakat kita sekarang ini. Betapa banyak pemuda-pemudi yang kemudian tergiur untuk mengikuti jejak ‘kesuksesan’ mereka. Parahnya standar kebenaran seolah-olah ada pada tangan orang-orang yang biasanya hanya mengandalkan tampang tersebut. Meski kehidupan realitas para sebagian selebritis sering diliputi dengan berita yang tidak beres, anehnya itupun menjadi tontonan yang menarik sampai pada urusan nomor sepatu yang cocok buat mereka sangat hangat untuk didiskusikan dan dibuat acara khusus untuk itu.
Kampanye akhir-akhir ini membuat lapangan kerja baru buat selebritis ini, dengan alasan menarik massa meski dengan biaya berjuta-juta kampanye tidak lengkap tanpa kehadiran mereka. Sedihnya, partai-partai yang mengatasnamakan Islampun menggunakan trik politik ini. Wallahu musta’an. Saya jadi teringat dengan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang juga nasihat Aisyah Radhiyallahu ‘Anha melalui surat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, “Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan (sesuatu yang menyebabkan) kemarahan manusia, maka Allah akan melindunginya dari kejahatan manusia. Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan (sesuatu yang menyebabkan) kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia”
Tujuan yang baik tidaklah bisa menghalalkan semua cara, mestilah ditempuh dengan cara yang baik pula.
Imam Malik Rahimahullah pernah berkata bahwa, tidak akan pernah jaya umat ini –kaum muslimin- melainkan apa yang telah membuat jaya dahulu. Hadits dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam “Apabila kalian telah terlibat jual beli ‘inah (riba), kalian telah mengambil ekor-ekor sapi, merasa senang dengan pertanian dan kalian tinggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan timpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan itu hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)
Sejak dahulu, tidak ada bangsa yang bisa dijayakan dengan mengandalkan selebritis, bukalah lipatan sejarah adakah yang mereka punya andil untuk itu. Bahkan malah sebaliknya kebanyakan mereka dijadikan alat oleh musuh-musuh suatu negara untuk melenakan anak-anak bangsa tersebut dalam buaian hedonisme, biusan paham materialistik sehingga lahir generasi-generasi pengecut, kehilangan jati diri dan pegangan yang dengan mudahnya dipermainkan, menjual harga diri dan bangsa dengan setumpuk uang dan untuk selanjutnya bangsa tersebut tinggal menghitung waktu kehancurannya.
Prestasi apa yang dipersembahkan oleh para penjual kecantikan/ketampanan dan kemerduan suara untuk bangsa ini? Apakah prestasi itu membuat kita semakin maju dan terhormat di mata masyarakat dunia yang dengannya kita semakin disegani? Atau malah kita sudah dianggap tidak lebih sebagai bangsa penghibur, tidak diperhitungkan oleh mereka kecuali applause sebagaimana yang dilakukannya pada tukang sirkus.
Agama Islam tidaklah anti dengan hiburan, tapi semua mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh manusia dalam menghamba kepada-Nya. Selama tidak melanggar syari’at hiburan boleh dilakukan dengan seperlunya, tidak melenakan kita dari mengingat-Nya. Hiburan seharusnya bukanlah menjadi tujuan pokok apalagi menjadi arus utama (mainstream) dalam masyarakat sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini khususnya di Indonesia. Wallahu Musta’an.